MAKANAN BERLEBIH: Jangan Buang-buang Makananmu ....

Kita membuang terlalu banyak makanan. Coba cek tempat sampah di rumah: buah, sayur, ikan, daging, bumbu, juga makanan kemarin, bertumpuk. Amat jarang kini kita menerima teguran keras jika makanan di piring tak licin tandas. Beruntung, semakin banyak tangan kini terulur, rela mengurus "buangan" tak tersentuh, karena tergerak oleh fakta jutaan orang belum bisa makan dengan layak.

Tahun 2017, Indonesia dinobatkan sebagai pembuang makanan terbesar nomor dua sedunia berdasarkan Food Sustainability Index yang dikembangkan The Economist Intelligence Unit. Satu orang membuang hingga 300 kilogram makanan setiap tahun. 

"Peringkat pertama", menurut data itu, adalah Arab Saudi yang membuang 427 kg makanan per orang per tahun. Ironis, karena di sisi lain, 795 juta orang di dunia ini kelaparan. 

Waste4Change, wirausaha sosial pengelolaan sampah, menyebutkan, berdasarkan pengalaman mereka, pesta pernikahan menyumbangkan sampah makanan terbesar. Dengan budaya jorjoran saat pesta, karena takut atau pamali jika kurang, sekaligus simbol status sosial, makanan kerap disediakan berlebihan. Kadang keluarga enggan mengurus dan kelebihan makanan berakhir di tong sampah. 

Tak hanya pesta, sampah makanan juga disumbangkan oleh hotel, restoran, katering, dan ritel. Cara mengonsumsi orang--lapar mata saat kondangan, misalnya--turut memperburuk keadaan ini.

Fakta itu menggugah sejumlah pihak, terutama anak-anak muda, menjadi jembatan antara yang berkelebihan makanan dan yang berkekurangan. Mengutip dari Waste4Change, hampir 13 juta ton makanan di Indonesia yang terbuang setiap tahun itu bisa memberi makan sekitar 28 juta orang.

"Pengalaman saya, saat kakak menikah, makanan berlebih cukup banyak. Ketika kami bawa pulang, jadinya hampir sepekan kami makan makanan kawinan itu, ha-ha-ha," tutur Herman Andryanto, salah seorang pendiri Food Cycle Indonesia.

Sabtu (9/3/2019) malam, Herman tengah berada di pesta perkawinan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Food Cycle bekerja sama dengan penyelenggara pesta perkawinan atau wedding organizer (WO) Bridestory untuk menampung makanan berlebih yang akan disalurkan kembali ke pihak yang membutuhkan..

Setelah para tamu undangan pulang, pihak hotel mulai mengemas makanan yang belum tersentuh. Malam itu terkumpul lima kantong besar berisi nasi, sayur, dan aneka lauk. Kadang juga ada kambing guling atau salmon panggang. Malam itu juga makanan diserahkan kepada komunitas pengungsi Afrika binaan Second Chance Initiative.

Food Cycle didirikan pada November 2017, berlatar keprihatinan atas sampah makanan. Herman kebetulan menonton video tentang sukarelawan di India yang mengumpulkan makanan berlebih di pesta perkawinan dan membagikannya kepada yang membutuhkan.

"Saya pikir itu bisa direplika di sini," ujarnya.

Dia lalu berkolaborasi dengan Bridestory, WO terkemuka, untuk menampung makanan pesta berlebih. Sampai saat ini sudah sekitar 250 acara perkawinan terdaftar untuk mendonasikan makanan berlebih.

"Setiap minggu, kami bisa mengambil dari tiga-tempat pesta perkawinan. Dari satu pesta, rata-rata terkumpul makanan berlebih hingga 40 kg. Sejak berdiri, kami sudah mengumpulkan total sekitar 5 ton makanan," kata Herman.

Food Cycle bekerja sama dengan lima pihak penerima, yakni Yayasan Lumbung Pangan (Food Bank), Yayasan Kampus Diakonia Modern yang merupakan asrama untuk anak-anak jalanan, Komunitas Sahabat Anak, komunitas pengungsi Afrika, dan Yayasan Bina Matahari Bangsa. Food Cycle juga melatih pihak penerima memeriksa makanan berlebih itu. 

Makanan harus dicek visual, tekstur, aroma, dan rasanya, lalu diberi skor 1-0. Jika skor minimal 8, makanan bisa disimpan di lemari pembeku dari donasi. 

Keprihatinan serupa menghinggapi pasangan suami-istri Dedhy Trunoyudho dan Indah Audivtia, pengusaha katering di Surabaya, Jawa Timur. Mereka kerap menghadapi masalah pembuangan makanan. Keduanya bekerja sama dengan Eva Bactiar, inisiator gerakan bank makanan berkonsep wirausaha sosial, yang lalu mendirikan Garda Pangan.

Di Surabaya

Garda Pangan lalu bermitra dengan produsen pangan dan hospitality industries. Mereka menjemput bahan pangan dan makanan berlebih yang tidak terjual atau belum tersentuh, tetapi layak dikonsumsi. 

Seperti pada Senin (4/3) sore, para sukarelawan Garda Pangan yang merupakan mahasiswa dari sejumlah kampus di Surabaya mengambil roti dari dua toko, lalu membagikannya kepada anak-anak di Sekolah Rakyat dan taman bacaan. 

Garda Pangan bermitra dengan 3 restoran, 3 toko roti, 2 WO, 1 penyalur buah, dan 1 pasar organik. Secara rutin, sukarelawan, yang kebanyakan pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda, menjemput lalu menyalurkan makanan berlebih ke 110 titik penyaluran.

"Selain Surabaya, distribusi juga sampai Sidoarjo dan Gresik, sesekali ke Jombang. Mereka yang miskin, yatim piatu, sulit berdaya, atau amat jarang tersentuh bantuan adalah penerimanya," ujar Eva.

Berdasarkan catatan Garda Pangan, sebulan lalu mereka mengumpulkan 3.640 porsi makanan, setara dengan 450 kilogram, yang disalurkan kepada 2.262 orang. Sejak didirikan September 2016, Garda Pangan telah menyelamatkan 8,1 ton pangan dari tempat sampah.

Gairah anak-anak muda menyelamatkan makanan berlebih juga terlihat pada para sukarelawan Feeding Hands. Para remaja putri kelas X National High Jakarta School, yakni Kathleen Humato (15), Meliana Budhihartanto (15), Aileen Bachtiar (15), dan Daniela Sugih (16), berada di belakang gerakan ini.

Feeding Hands dimulai September 2018, berawal dari pengalaman mereka nongkrong di kafe atau restoran dan sering memesan makanan yang kemudian tidak habis dimakan.

"Kalau (makanan) kami sisa, yang lain juga ada makanan sisa, makanannya dikemanakan?" tutur Kathleen.

Mereka pun memiliki ide mengumpulkan makanan berlebih. Awalnya, mereka mendatangi beberapa kafe dan produsen roti. Mereka berhasil menarik minat toko roti, seperti Bread King, BEAU, dan Monami Bakery.

Hari Minggu (10/3) lalu, empat gadis itu sibuk mengemas aneka makanan, seperti nasi goreng, ayam goreng, dan daging, yang dikumpulkan dari sebuah pesta perkawinan. Sebanyak 48 paket dikemas dalam kotak makanan dan diantarkan ke rumah singgah mitra Feeding Hands. 

Dalam sehari mereka bisa menyalurkan 30-100 roti. Setelah semuanya dikemas, lalu diambil ojek daring langganan untuk diantar ke salah satu rumah sukarelawan, disortir, serta diberi tanggal kedaluwarsa dan catatan untuk harus dikonsumsi. Total ada 32 yayasan dan panti di Jakarta yang menerima makanan berlebih bergiliran.

"Kami merasa lebih berterima kasih, bersyukur, menghargai makanan dan sesama," ucap Meliana.

Pola pikir

Di Bandung, Jawa Barat, anak-anak muda tergabung dalam The Hunger Bank. Komunitas ini diinisiasi Falencia Chrisshanti Naoenz (25) pada Maret 2016 saat dia masih mahasiswa di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Bersama sejumlah mahasiswa Unpar, dia mengampanyekan gerakan tak membuang makanan. Awalnya, mereka mengambil makanan berlebih dari kegiatan di kampus, lalu dibagikan pada orang sekitar, seperti pegawai, petugas keamanan, dan juru parkir.

Falencia mengungkapkan kekagetannya bahwa jenis sampah yang paling banyak dibuang di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti adalah makanan. Ini seperti terungkap dalam penelitian Gladys Brigita dan Benno Rahardyan berjudul Analisa Pengelolaan Sampah Makanan di Kota Bandung yang diterbitkan Jurnal Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung Volume 19, 19 April 2013. Disebutkan, rata-rata orang di Bandung menghasilkan sampah makanan 0,23-2 liter per hari.

Upaya Falencia diteruskan oleh Nabila Ratna Kasyalia (24). Nabila sering membagikan makanan pada malam hari. "Ketika ada seminar atau rapat dan ada makanan berlebih, kami akan dihubungi untuk mengambil," ujarnya, Kamis (14/3).

Akhir tahun lalu, The Hunger Bank membagikan puluhan nasi kotak dari donatur ke yayasan penampung tunawisma di Bandung. Mereka juga mengedukasi masyarakat agar terbiasa menghabiskan makanan.

Pegiat literasi pangan, Tejo Wahyu Jatmiko, menyambut baik inisiatif para sukarelawan yang menghubungkan makanan berlebih dengan orang berkekurangan makan. Banyak pihak sebetulnya memiliki sumber daya, tetapi kebingungan menyalurkannya. Koneksi itu penting sebagai kekuatan untuk mengelola bahan-bahan pangan yang terbuang.

"Sampah organik skala kecil masih bisa dikelola untuk kompos. Namun, itu menyelesaikan masalah hilir saja. Di hulu sering belum tersentuh. Belum ada juga kebijakan yang melihat sampah makanan ini sebagai masalah ekonomi," kata Tejo.

Menurut Tejo, masalah makanan berlebih adalah masalah pola pikir. Dulu, ujar dia, orang tua akan marah atau menegur dengan keras jika makanan tak dihabiskan. Sekarang, kearifan itu pudar seiring kesejahteraan keluarga yang meningkat. Penghargaan kepada makanan menurun drastis sehingga orang gampang membuang makanan.

"Pangan semakin susah. Yang sudah ada kenapa malah dibuang," ucapnya.

(BRO/SYA/TAM/JAL/FRO) 






Sumber: Kompas, 17 Maret 2019



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...