HUTAN ADAT: Merawat Tembawang, Merawat Kehidupan

Emanuel Edi Saputra

Hutan bagi suku Dayak tidak hanya aset ekonomi. Lebih dari itu, hutan menjadi simbol persatuan, spiritualitas, menyimpan nilai historis, dan ruang mentransfer pengetahuan antargenerasi.

Sembolon (44), warga Dayak Tae di Desa Tae, Kecamatan Balai Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menapaki hutan di desa itu. Di lengannya tergantung wadah dari rajutan rotan yang oleh masyarakat setempat disebut ngkalakng.

Saat tiba di pohon buah lokal yang disebut mpuak, Sembolon memanjat dan memanen buah itu, kemudian memasukkannya ke ngkalakng. Buah mpuak itu bentuknya bulat berdiameter 4-5 sentimeter, kulitnya merah kecokelatan, isinya putih menyerupai manggis, dan rasanya manis.

Selain buah mpuak, di hutan itu ada juga buah rambai yang kulit dan isinya putih menyerupai duku. Ada pula buah durian dan manggis.

Selain buah-buahan, terdapat pula tanaman obat, misalnya daun patah kemudi untuk obat demam, sakit perut, dan bengkak. Selain itu, kumis kucing (Orthosiphon aristatus), obat untuk saluran kencing dan ginjal. Kulit batang buah-buahan lokal itu pun menjadi obat alami. Kulit batang buah rambai, misalnya, untuk obat sakit mata.

Masyarakat setempat menyebut hutan itu tembawang, suatu kawasan sebagai bagian dari hutan adat yang secara historis pernah dijadikan ladang dan didiami penduduk. Kawasan itu kini telah menjadi hutan karena dilestarikan dengan ditanami biodiversitas, baik buah-buahan, kayu, karet, maupun tanaman obat.

Dulu, nenek moyang mereka berladang dan tinggalnya berpindah-pindah. Saat bekas ladang dan tempat tinggal itu ditinggalkan, lokasi tersebut ditanami dengan berbagai tanaman. Begitu seterusnya.

Tembawang itu lantas diwariskan turun-temurun, tetapi ada pula yang dimiliki secara komunal oleh seluruh masyarakat di suatu kampung. Desa berpenduduk 440 keluarga itu memiliki luas tembawang sekitar 100 hektar.

"Kami keturunan ketujuh yang mewarisinya. Tembawang itu dibagi ke setiap saudara supaya lebih enak merawatnya. Meski dibagi untuk mempermudah merawatnya, secara keseluruhan statusnya tetap milik bersama," kata Sembolon.

Setiap generasi yang mewarisi tembawang menanaminya dengan tanaman baru. Terlebih saat musim buah, biji buah-buahan itu ditabur di berbagai sudut hutan sehingga tumbuh lagi tanaman baru.

"Panen buah-buahan lokal di sini bisa menopang ekonomi. Saat panen buah lokal pada Desember lalu, keuntungan penjualan bisa puluhan juta," ujar Sembolon.

Asep (77), warga Tae lainnya, memiliki 5 hektar tembawang. Setiap musim buah, ia panen banyak buah-buahan.

Simbol persatuan

Tembawang adalah simbol persatuan. Dari tembawang, mereka mengetahui silsilah keluarga turun-temurun. Mereka mengetahui siapa saja yang pernah bermukim dan berladang di situ sejak lama.

Saat musim buah, keluarga yang tinggal di berbagai wilayah diminta datang ke kampung untuk makan buah bersama-sama. Keluarga memiliki hak bersama untuk mengakses sumber daya di dalamnya. Di situ tembawang menyatukan keluarga.

Apabila ada anggota keluarga menjual tembawang secara diam-diam, misalnya kepada korporasi sehingga beralih fungsi menjadi perkebunan, akan memicu perpecahan dalam keluarga. Hubungan mereka terkoyak.

Direktur Institut Dayakologi Krissusandi Gunui' mengatakan, setiap subsuku Dayak mempunyai istilah masing-masing untuk menyebut tembawang. Di Ketapang ada yang menyebutnya dohas (Dayak Pesaguan, Kayong, dan Gerunggang) serta dahas (Dayak Jalai). Usia tembawang pada umumnya mencapai ratusan tahun.

Tembawang juga menyediakan kebutuhan masyarakat yang memungkinkan hidup mandiri. Tembawang menjadi ruang mewariskan pengetahuan. Di situ transfer pengetahuan antargenerasi dilakukan, misalnya terkait obat alami.

Selain itu, hutan juga menjadi bagian dari spiritualitas. Saat musim buah, di kampung itu digelar ritual mpaya buah, yakni upacara syukuran atas panen buah. Desa Tae adalah contoh daerah yang bisa mempertahankan tanah adatnya.

Diselamatkan

Wilayah adat di Desa Tae, termasuk tembawang di dalamnya, telah diperjuangkan untuk disahkan menjadi hutan adat sejak lama guna melindunginya. Sekretaris Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kalimantan Pancur Kasih Richardius Giring mengatakan, proses menyelamatkan hutan adat, termasuk di Desa Tae, tidak mudah.

Masyarakat mengusulkan pengesahan hutan adat sejak 2007/2008. Institut Dayakologi bersama anggota Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih lainnya mendampingi. Pada 2011-2014 mulai pemetaan partisipatif. Kemudian, pada 2014 peta partisipatif diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sanggau.

Setelah itu, pemkab mengeluarkan rancangan peraturan daerah tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat Sanggau pada 2017. Masyarakat adat diakui melalui surat keputusan (SK).

Ketika SK keluar, barulah membuat permohonan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya wilayah Tae ditetapkan sebagai hutan adat pada 2017. Setelah melalui verifikasi, pada 2018 akhirnya Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Hutan Adat Desa Tae dengan luas 2.189 hektar, tembawang termasuk di dalamnya.

Tak hanya itu, pada waktu bersamaan juga diserahkan SK hutan adat lainnya, yakni 651 hektar hutan adat Tembawang Tampun Juah, Sanggau. Kemudian, 100 hektar hutan adat Pikul, Kabupaten Bengkayang.

Di samping ada yang bisa diselamatkan, banyak juga daerah di Kalbar kehilangan tembawang dan hutan adatnya secara umum karena alih fungsi lahan. Relasi sosial masyarakat yang tanah adatnya hilang perlahan berubah.

Mereka mulai kehilangan modal sosial. Keluarga banyak yang bermusuhan saat tanah dijual oleh salah satu keluarga kepada investor. Hutan sebagai alat pemersatu telah tiada. Pewarisan pengetahuan antargenerasi pun terputus.

Kehidupan mereka semula mandiri, saat musim buah tinggal memetik sendiri. Kini, banyak warga yang tidak memiliki tanah yang akhirnya menjadi "kuli" di tanahnya sendiri dengan menjadi buruh perkebunan.



Sumber: Kompas, 23 Maret 2019



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...