Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 1993

Dari Sekam Datangnya Listrik

Gambar
Sekam padi, yang di sini hanya jadi abu gosok, ternyata bisa menjadi energi pembangkit listrik. Pembangkit model ini sudah dicoba di Thailand. Kapan masuk Indonesia? S EKAM padi boleh jadi akan menjadi barang penting, di masa mendatang. Soalnya, sudah terbukti limbah itu bisa menjadi energi untuk pembangkit listrik. Kini di pedalaman Thailand sudah beroperasi dua pembangkit listrik model itu, dan setiap pembangkit menghasilkan listrik 38 megawatt (MW). Dari jumlah itu, 10 MW digunakan untuk penerangan, dan selebihnya untuk menggerakkan mesin tapioka, pabrik pulp, penggilingan padi, serta untuk menjalankan mesin pembangkit listrik itu sendiri. Ihwal pembangkit listrik tenaga sekam ini muncul dalam seminar Power Gen-Asia '93 , yang berlangsung di Singapura, dua pekan lalu. Tentu saja sekam tak akan mampu bersaing dengan pembangkit energi semacam diesel, batu bara, air terjun, atau panas bumi. Sebab, energi yang dihasilkannya kecil saja. Namun, di desa-desa negeri agraris sep

Mereka yang Masih Pedalaman

Gambar
P ekanbaru diserbu masyarakat pedalaman. Awal September lalu, ribuan orang bercawat maupun berpakaian kulit rusa tampak lalu-lalang di tengah kota. Mereka berkumpul untuk meramaikan Festival Seni Budaya Masyarakat Pedalaman Asia Pasifik. Beberapa orang masih tampak bingung melihat kendaraan yang berlalu-lalang, dan tak sedikit pula yang kesasar. Panitia, tampaknya, mengambil hikmah dari pengalaman dan segera melengkapi tiap peserta dengan badge yang di baliknya tertulis alamat penginapan. Jadi, kalau mereka kesasar dan tak bisa berkomunikasi dengan masyarakat Pekanbaru, orang-orang itu tetap saja bisa diantar pulang ke penginapan. Tapi tak sedikit pula peserta festival dengan kaus oblong dan celana pendek ketat yang menelusuri Pekanbaru bak wisatawan. Memang, tak jelas lagi kelompok masyarakat yang bagaimana yang masih bisa disebut sebagai masyarakat pedalaman. Pemerintah Daerah Riau, sebagai penyelenggara festival, membatasi masyarakat pedalaman dalam tiga kelompok, yaitu mas

Tatkala Gajah Berlaga Pelanduk pun Terjepit

Gambar
F estival Budaya Pedalaman se-Asia Pasifik berlangsung di Pekanbaru, pada 2-5 September lalu. Walaupun ada yang berpakaian cawat dan kulit kayu, pengalaman mereka tentang sistem ekologi sangat canggih. Karena itu, ada orang yang menyebut bahwa inilah festival yang menyindir-nyindir kaum kapitalis perusak hutan. Lalu, apa problem yang dihadapi suku pedalaman itu? Siapa saja mereka? Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja .... C uplikan sajak di atas bisa didengar dalam film Yang Muda Yang Bercinta, yang sedang beredar di pelosok-pelosok kota di negeri ini. W. S. Rendra, penyair yang membaca sajaknya itu dalam film, memang tidak hadir pada Festival Budaya Pedalaman se-Asia Pasifik yang berlangsung di Pekanbaru, awal September lalu. Tetapi, betapa makna puisinya merasuk kental di sana. Bahwa kaum kapitali

Dengan Ganggang Menghajar Logam

Gambar
Pengolah limbah algae Chlorella pyrenoidosa  mampu mengolah limbah tekstil dan logam berat. Algae si ganggang hijau mudah ditemukan, dan biayanya murah. Hanya saja, masih ada kendala. K EMBALI ke alam rupanya bisa karena berbagai alasan. Dr. M. A. Aziz, 56 tahun, punya alasan yang sangat khusus. "Kalau mau pengolah limbah murah, kembalilah ke teknologi alam," begitu kata insinyur lingkungan dari Universitas Nasional Singapura itu. Setelah meneliti selama empat tahun, Dr. M. A. Aziz dan Dr. W. J. Ng menawarkan sistem pengolahan limbah dengan algae Chlorella pyrenoidosa . Menurut mereka, sistem ini cocok bagi negara berkembang. Lagi pula murah karena algae cukup dipungut dari empang atau sawah. Mikroorganisme bersel satu ini sebenarnya sudah cukup dikenal. Selain dibudidayakan untuk pakan ikan, juga untuk makanan bergizi. Dan sebagai pengolah limbah, algae--di sini sering disebut ganggang hijau--tanpa disadari telah berperan banyak. Kerap kita temukan ganggang hija

Pasca-Modernisme-nya Kang Prasojo

Gambar
BOB SUGENG HADIWINATA S UATU ketika, persisnya dua pekan lalu, puluhan orang berduyun-duyun menuju sebuah gedung megah berlantai lima di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Mereka "menyambut" sebuah isme baru, pasca-modernisme, yang konon menggegerkan dunia perilmuan Barat karena pandangan radikalnya, dan yang kini telah datang ke Indonesia. Acara pun segera digelar. Beberapa orang diminta membuka dagangannya yang dikemas dalam berbagai rasa. Ada yang meraciknya dengan bumbu arsitektur, filsafat, ekonomi, dan sastra. Ada pula yang meramunya dengan bumbu gerakan feminisme, lingkungan hidup, dan bahkan agama. Di tengah-tengah riuh-rendahnya diskusi, muncullah sebuah bisikan yang sangat menggelitik: "Pasca-modernisme itu merupakan praksis ataukah ia sekadar teori filsafat, atau bahkan kedua-duanya?" Kalau pasca-modernisme merupakan teori filsafat, di Indonesia ia dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tapi, sebagai sebuah prak

Menyigi Profil Rentenir

Gambar
Seorang pelepas uang, meski dianggap suka mencekik, toh mampu membangun citra cantik dirinya. Animo terhadap rentenir tumbuh karena birokrat cenderung meremehkan orang desa. D UWIT kuwi kuwoso , kata pepatah Jawa. Uang itu berkuasa. Atau wong brewu mulyo uripe --orang kaya itu berpengaruh dan banyak sahabat, hidupnya mulia. Menurut Dr. Heru-Nugroho Soegiarto, 34 tahun, secara umum diakui uang tidak hanya berdimensi ekonomi, tapi juga punya faset sosial, budaya, dan politik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu enam bulan, pada tahun 1990, meneliti perilaku 11 orang yang disebut "lintah darat" di Bantul--kota kecamatan 12 km di selatan Yogyakarta. Dicakup pula 185 nasabah, dan 71 responden yang ada kaitan kerja dengan lintah darat. Misalnya birokrat desa dan petugas keamanan. Sembilan dari 11 pelepas uang itu wanita. Penelitiannya itu jadi disertasi: "The Embeddedness of Money, Moneylenders and Moneylending in a Javanese Tow
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...