Ayo Berkebun di Halaman Rumah

Berada di pekarangan rumah pasangan Rinny dan Razad Binol, di kawasan Ciputat, selatan Jakarta, rasanya nyaman sekali. Halaman itu bukan cuma indah oleh rona tanaman hias dan pohon buah-buahan, tapi juga segar oleh berjenis sayur-mayur tipe dataran rendah, seperti kecipir, bayam, terung ungu, labu air, oyong, dan ... banyak lagi.

Di pekarangan rumah Nyonya Yusma Subeno di bilangan Rempoa, Jakarta Selatan, juga terdapat berbagai jenis sayur yang umumnya dijual di pasar-pasar tradisional. Tomat, terung jepang, daun katuk, daun kemangi, seledri, daun melinjo, sawi hijau, daun kencur, bayam, paria, kangkung, bahkan juga kol, selada, dan daun lectus pelengkap hamburger.

"Istilahnya ... untuk sekadar makan sayur sehari-hari, kami tinggal membeli garam dan terasi saja. Bumbu-bumbu dapur yang umum, seperti daun bawang, seledri, kunyit, dan lengkuas, juga tersedia di halaman," ujar Rinny.

"Untuk keperluan sehari-hari, saya tinggal membeli beras," ucap Ny. Yusma.

Kolam renang jadi empang

Memanfaatkan pekarangan rumah sebagai kebun, yang akhir-akhir ini banyak terlihat di seputar kota, merupakan kegiatan bernilai plus. Tidak hanya iseng-iseng mengisi waktu, tapi sudah dilakukan dengan rapi terencana. Bahkan, terkesan serius. Ny. Yusma, misalnya. Ia kini tengah mewujudkan pekarangan rumahnya sebagai lahan gizi terpadu. Di samping dan pojok-pojok halaman, sejak lama ia menanam ragam pohon buah pilihan, seperti mangga, jambu dermala, sawo, durian, duku, asam jawa, lobi-lobi, pisang, melinjo, sukun, petai besar, kedondong, dan lainnya.

Yang menarik, sayur-mayur di halaman Ny. Yusma tak cuma ditanam langsung di atas tanah, tapi juga di berbagai wadah seperti pot, ember, baskom bekas, serta kantong-kantong plastik hitam. Pot-pot tanaman bumbu berjejer di sudut halaman. Pot-pot kangkung ia taruh di sepanjang saluran pembuangan air cucian dari dapur. Tikim rambat yang berguna untuk penyedap asinan dan rujak, mengelompok di bawah pohon mangga. Di bawah atap, di celah lorong, ada pot-pot tanaman lain.

Sejajar dengan tembok halaman ia juga membangun kandang-kandang untuk memelihara ayam kampung dan jenis ras pedaging, yang bagian bawahnya berupa kolam pemeliharaan lele.

"Tapi, beberapa bulan ini, beternak ayam saya stop dulu. Makanannya mahal, tak imbang dengan hasil daging yang akan diperoleh," ungkap istri pensiunan perwira menengah TNI-AD ini. Sebagai gantinya, ia lebih mengaktifkan pemeliharaan ikan air tawar (gurami, mujair, nilam, tombro) di kolam yang ada. Bahkan, gara-gara krismon, untuk sementara ia mengalihfungsikan kolam renang keluarganya untuk memelihara ikan gabus pedaging.

Ny. Rinny R. Binol yang direktris suatu perusahaan penyalur suku cadang mesin tekstil, sebelumnya tak pernah mengira ia akan punya side job sebagai 'petani' sayur seperti sekarang ini. Semua ini berawal dari beberapa butir biji pepaya.

"Kami sekeluarga senang buah. Nyaris tiap hari, di rumah selalu ada buah, terutama pepaya," ungkap Rinny yang sekali waktu, iseng-iseng, menebar biji-biji pepaya di pojok dapurnya.

"Beberapa di antara biji itu tumbuh, besar, dan berbuah lebat. Sejak itu, kami sekeluarga nyaris tak pernah lagi membeli pepaya karena nyaris tiap hari ada saja buah yang masak. Dan, mungkin karena hasil 'kebun' sendiri, kami merasa, kok, lebih manis dan lebih enak daripada yang biasa kami beli di supermarket," kenang Rinny.

Dari pepaya hasil tanam iseng-iseng itu, terpikir oleh Rinny untuk menanam tanaman bermanfaat lainnya. "Rumah kami ini relatif jauh dari pasar. Pedagang sayur keliling pun jarang lewat sini. Ini sering menyulitkan. Soal bumbu dapur saja, entah itu hanya sepotong kecil rimpang kencur atau lengkuas, jika kebetulan tak ada stok, bisa-bisa kami gagal bikin sayur lodeh," kata Rinny.

Sejak itu, ia mulai 'bertani', menancapkan bagian kecil aneka bumbu dapur di pot-pot di pojok halaman rumahnya. "Lumayan. Setelah tumbuh, untuk bumbu-bumbu standar saja kami tak perlu membeli," katanya.

Melihat perkembangan ini, suami Rinny yang aktif di bidang perdagangan ekspor-impor, terpikir memanfaatkan pekarangan yang tersisa yang selama ini diisi tanaman hias. Ia pun mengisinya juga dengan jenis sayur-mayur. Kebetulan beberapa tahun sebelumnya mereka membeli lahan di samping dan belakang halaman mereka. Kian luaslah lahan pekarangan yang bisa ditanami.

Ilmunya? "Ya, cuma dari membaca dan bertanya pada para tetangga yang umumnya memang petani tradisional." ucap Rinny. "Kini hasil panennya lumayan. Jagung atau terung misalnya, bisa beberapa puluh kilogram per hari. Selain untuk sendiri dan dibagi-bagi kepada kenalan, sisanya diborongkan pada pedagang keliling. Lumayan untuk menutup ongkos produksi, plus membayar honor tukang kebun yang mengurusinya," kata Rinny.

Bagi pasangan Rinny-Rizad maupun Ny. Yusma, bertani di halaman ini juga merupakan bentuk kepedulian sosial. Lahan sayur-mayur yang mereka upayakan juga memberi peluang kerja bagi tetangga di sekitar rumahnya.

"Ada sepuluh tenaga tetap yang tiap hari mengurus ladang kami. Tiap hari kami dapat sayur dan buah, sedangkan mereka mendapat pekerjaan dan penghasilan tetap," kata Rinny, sederhana.

Bumbu langka dan lahan terbatas

Apakah kegiatan bercocok-tanam itu baru bisa dilakukan bila punya pekarangan rumah yang luas? "Sebenarnya, faktor utamanya bukan pekarangan yang luas. Biarpun punya halaman luas, jika orangnya tak suka bercocok-tanam, tetap saja sia-sia," ujar Rinny. "Punya pekarangan satu hektar pun akan terbengkalai percuma, jika kita cuma berpikir, 'Buat apa susah-susah menanam kangkung atau tomat? 'Kan di pasar banyak,'" ungkap Rinny.

"Jadi, jangan terjebak oleh lebarnya halaman," sela Yusma. "Punya semeter tanah kosong pun, kita tetap bisa bertanam sayur. Bibitnya mudah didapat di toko-toko pertanian, yang juga sering dilengkapi dengan cara praktis menanamnya. Informasi cara perawatannya? Kita bisa baca buku, atau tanya kiri-kanan," lanjutnya.

Bahwa kecil dan luasnya halaman tidak perlu dijadikan ukuran, telah dibuktikan oleh Agustini Wahyu. Karyawan swasta yang gemar memasak ini, dengan baik telah memanfaatkan sisa pekarangan rumahnya yang relatif kecil untuk bercocok tanam.

"Saya yang senang mencoba resep-resep baru, sering kesulitan menemukan bumbu-bumbu tertentu, baik di pasar swalayan maupun sentra penjual bumbu di pasar-pasar. Padahal, tanpa bumbu itu, rasa sayur atau kuenya akan menjadi tidak enak, cemplang," ungkap Tini, panggilan akrabnya.

Alhasil, agar tetap bisa melaksanakan hobinya dengan baik, Tini menanam sendiri jenis-jenis bumbu langka itu di halaman rumahnya yang hanya belasan meter. Bibitnya ia peroleh dengan berbagai cara. Dari sekadar memotes bagian bumbu saat ia hendak memasak, sampai kiriman paket dari kenalannya di berbagai daerah.

Perdu bunga srigading, pewarna kuning pada masakan kue-kue tradisional, daun lelem yang berguna untuk mengolah berjenis hidangan Manado, salam koja atau temurui atau curry leave untuk masakan Aceh dan Melayu, daun jintan atau tebal untuk memasak ayam goreng paniki dari Manado, semua ada di 'kebun' Tini. Daun kesom untuk berjenis masakan Pontianak, temu mangga yang wajib ada jika ingin membuat hidangan laksa, pandan lebar untuk kue-kue Manado dan pembungkus bacang, juga ada. Dan masih banyak lagi.

Semua itu ditanam Tini di pot-pot khusus. "Bentuk tanaman-tanaman bumbu itu tak kalah cantik dengan umumnya tanaman hias. Jadi, selain bermanfaat juga menjadi penyegar halaman rumah yang sempit ini," lanjut Tini yang mulai mencoba menanam jenis-jenis sayur dalam pot. (f)

Heryus Saputro
Foto: Sonny BS, Sonny Muchlison



Jika ingin bertanam sendiri

"Ukuran halaman jangan dijadikan hambatan. Jika lahan yang tersisa cuma sedikit, bahkan tak ada sama sekali, asal ada kemauan, kita tetap bisa bercocok tanam," ungkap Ir. Yos Sutioso (69), ahli hama penyakit tanaman lulusan IPB yang kini konsultan masalah-masalah pertanian. "Memang, idealnya tanaman tumbuh di atas tanah. Tapi, dengan ember bekas pun kita bisa bertanam sayur. Wadah itu bisa kita letakkan di atas tembok, atau bahkan di genting rumah," lanjut Yos.

Berikut beberapa tip dari Yos bagi mereka yang ingin punya 'kebun' sendiri di pekarangan rumah.

PILIHAN JENIS

Jenis pohon yang hendak ditanam, disesuaikan dengan lahan yang ada. Jika halamannya luas, apa pun yang ditanam (pohonan besar atau kecil) tak jadi masalah. Tapi, jika lahan terbatas, pohon-pohon kecillah yang cocok dipilih.

Jika ingin menanam sayur, perhatikan juga letak dan ukuran ketinggian tempat tinggal kita. Jika kita tinggal di dataran rendah, tentu kurang pas jika menanam jenis-jenis sayur dataran tinggi. Demikian pula sebaliknya.

KEPATUTAN

Jangan sekadar asal tanam. Perlu dipikirkan, patut atau tidak tanaman itu tumbuh di situ. Jika halaman lebar dan luas, tak masalah menanam pohon besar macam durian atau nangka, atau daun salam untuk bumbu dapur. Tapi, di halaman yang sempit, sepantasnya memilih pohon yang lingkar batangnya tak terlalu besar dan tumbuh tak terlampau tinggi.

KURUN WAKTU

Perhatikan juga kurun waktu tumbuh dan masa produktif tanaman. Untuk jenis sayur semusim misalnya, jika ingin tetap memanen secara berkala, perhatikan tahap-tahap menanamnya hingga regenerasi terus berlanjut.

Sebagai penyedia buah, jeruk sitrun (bisa dalam pot/drum) atau pepaya, bisa dijadikan pilihan. Pohon tersebut tumbuh tak terlalu tinggi, lingkar batangnya pun tak begitu besar, tapi buahnya cukup banyak dan bisa dipanen secara berkala dalam jangka waktu yang relatif panjang, hingga tak usah cepat-cepat menggantinya dengan tanaman baru.

MEDIA

Umumnya, tanaman tumbuh di atas tanah. Tapi sebenarnya, tanah cuma salah satu media untuk cengkeraman akar. Artinya, tanah bisa diganti dengan media lain, asalkan unsur hara atau nutrisi yang dibutuhkan tetap ada di media tersebut. Media pengganti itu bisa berupa kompos alam, sedimen atau endapan lumpur dari dasar saluran air di depan rumah (asal tak tercemar minyak atau oli), ataupun ragam media buatan yang mudah diperoleh di toko-toko pertanian.

WADAH

Media butuh tempat atau wadah yang sesuai dengan jenis pohon yang hendak ditanam. Bisa berupa pot ataupun wadah-wadah seperti drum (untuk tanaman buah), potongan ban mobil, kaleng bekas biskuit, ember, baskom, atapun polibag alias kantong plastik hitam (berbagai ukuran) yang banyak dijual di pasaran.

BIBIT

Bibit bisa diperoleh dengan berbagai cara. Membeli langsung anakannya (untuk jenis-jenis pohon buah), menyetek dan mencangkok dari induknya, atau menyemainya sendiri.

Untuk jenis bumbu dapur (jahe, serai, kunyit, lengkuas, cabai, dll), benih bibit bisa diperoleh dari sisa atau potongan bumbu aslinya, dan bisa langsung ditancapkan ke tanah atau media lain. Cabai dan tomat pun bisa ditanam dengan cara seperti ini. Tapi, untuk jenis sayur-mayur semusim yang lebih khusus (semisal terung, kangkung, selada, kol, kacang panjang, dll), beli saja bibitnya di toko-toko pertanian terdekat.

Cuma, ada baiknya kita mengajak para tetangga dan para kenalan untuk juga bercocok tanam. Sebab, walau relatif murah, sekantong bibit (bayam atau seledri ukuran 5 gram, misalnya) jika disemai bisa menjadi ribuan pohon. Padahal, mungkin lahan kosong di halaman kita cuma beberapa meter persegi. Bila disimpan lama, sisa bibit akan berkurang mutu tumbuhnya. Jadi, daripada mubazir, 'kan lebih baik menggandeng tetangga.



Sumber: Femina, Tanpa tanggal



Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

HUTAN ADAT: Merawat Tembawang, Merawat Kehidupan

Masih Ada yang Tertinggal