KULIAH KERJA NYATA: Penjernih Air untuk Membantu Transmigran
Fuad Atthoriq (22) mengangkat dua gelas. Satu gelas berisi air berwarna kecokelatan, sementara gelas lain berisi air bening.
"Ini sama-sama air dari sungai di sini, tetapi yang satu sudah dimurnikan melalui beberapa proses," katanya.
Fuad lalu menunjukkan instalasi penjernih air yang ia pakai untuk "menyulap" air kotor kecokelatan menjadi air bening tak berwarna. Instalasi yang terdiri atas sejumlah pipa dan bak penampung air itu terpasang di halaman belakang Puskesmas Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar).
Sabtu (27/7/2019) sore, Fuad memperagakan cara kerja instalasi penjernih air tersebut. Fuad adalah mahasiswa Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang tengah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) di Kecamatan Rasau Jaya.
Dalam pelaksanaan KKN di Rasau Jaya, UGM bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sejak 30 Juni hingga 18 Agustus 2019, 27 mahasiswa UGM menjalankan sejumlah program di dua desa di Kecamatan Rasau Jaya, yakni Rasau Jaya Satu dan Rasau Jaya Tiga.
Rasau Jaya merupakan kawasan transmigrasi yang dihuni para transmigran dari Pulau Jawa. Para transmigran datang ke Rasau Jaya pada 1970-an. Data Pemerintah Kecamatan Rasau Jaya menyebutkan jumlah penduduk di kecamatan itu 31.000 jiwa, sekitar 80 persen merupakan warga transmigran dan keturunannya.
Meski sudah tinggal puluhan tahun di Rasau Jaya, warga transmigran masih mengalami sejumlah persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, kesulitan mendapatkan air bersih. Penyebabnya, Rasau Jaya merupakan lahan gambut sehingga kualitas air tanah dan air sungainya kurang baik.
Tidak layak
Fuad menjelaskan, air sungai di Rasau Jaya mengandung bakteri dan senyawa organik sehingga warnanya merah kecokelatan. Dengan kondisi itu, air tidak layak untuk kebutuhan mandi cuci kakus (MCK), apalagi untuk minum dan memasak.
"Kebanyakan warga sini masih mandi menggunakan air sungai. Padahal, air itu bisa menyebabkan iritasi dan gatal-gatal," ujarnya.
Kondisi itu yang menggerakkan para mahasiswa UGM membuat instalasi penjernih air. Menurut Fuad, proses penjernihan air menggunakan instalasi itu berlangsung beberapa tahap. Pertama, air sungai disedot dengan pompa lalu dialirkan lewat pipa melalui sejumlah wadah berisi klorin untuk mematikan bakteri.
Setelah melewati klorin, air dialirkan ke bak penampung, lalu dicampurkan bahan kimia untuk menaikkan kandungan pH dalam air (pH up). Kandungan pH merupakan indikator tingkat asam atau basa dari air.
Proses selanjutnya adalah memasukkan bahan kimia bernama poly-aluminium chloride (PAC) ke air, lalu diaduk selama sekitar 1 menit. PAC berfungsi untuk menggumpalkan padatan yang terlarut dalam air sekaligus menurunkan kandungan pH.
Setelah itu, air didiamkan 30-45 menit agar padatan mengendap. Saat pengendapan, air yang semula berwarna merah kecokelatan akan berubah jernih. Selanjutnya air disaring dengan filter sebelum digunakan.
Fuad mengatakan, air sungai yang dijernihkan itu telah layak digunakan untuk keperluan MCK. Kelayakan itu antara lain bisa dilihat dari kandungan padatan tersuspensi total (total suspended solid/TSS) yang menyebabkan air keruh.
Berdasarkan penelitian tim mahasiswa UGM, sebelum melalui proses penjernihan, kandungan TSS air sungai di Rasau Jaya 232 miligram (mg) per liter. Setelah penjernihan dilakukan, kandungan TSS turun menjadi 68 mg per liter.
Kualitas air hasil penjernihan bisa terlihat dari pH. Sebelum pemurnian, pH air sungai di Rasau Jaya 3-4 atau bersifat asam. Setelah melalui proses penjernihan, kandungan pH naik menjadi 6-6,5.
"Rentang pH air yang aman untuk MCK 6-7. Jadi, air hasil penjernihan itu memenuhi baku mutu," katanya.
Koordinator Mahasiswa KKN UGM di Rasau Jaya, Monika Listania Yuliandari (20), mengatakan, proses penjernihan air bisa dilakukan dengan peralatan sederhana, yakni pipa dan bak penampung air. Selain itu, bahan-bahan untuk penjernihan, seperti klorin, bubuk pH up, dan PAC, bisa didapat dengan mudah dan murah." Alat penjernih air ini dibuat secara sederhana sehingga dapat direplikasi masyarakat," ujarnya.
Program lain
Monika menambahkan, selain membuat alat penjernih air, para mahasiswa UGM juga mengerjakan sejumlah program lain di Rasau Jaya. Program itu adalah membantu pengembangan taman bunga sebagai obyek wisata, pelatihan pembuatan batik tulis, serta pelatihan pembuatan produk olahan dari pangan lokal seperti jagung dan nanas.
Camat Rasau Jaya Suhartono mengatakan, masyarakat merasa terbantu dengan kehadiran para mahasiswa UGM. Proyek instalasi penjernih air itu bisa menjadi salah satu solusi persoalan air bersih di Rasau Jaya. Ke depan, instalasi itu diharapkan ditingkatkan kualitasnya sehingga bisa menghasilkan air yang layak untuk minum dan memasak.
Suhartono menuturkan, selama ini kebanyakan masyarakat Rasau Jaya mengandalkan air hujan untuk minum dan memasak karena kualitas air tanah dan air sungai yang rendah. Pada musim kemarau dan cadangan air hujan telah habis, warga terpaksa membeli air bersih dengan harga sangat mahal, Rp 2 juta-Rp 3 juta per tangki ukuran 5.000 liter.
"Harganya memang mahal karena air diambil dari Kota Pontianak yang berjarak sekitar 45 kilometer," kata Suhartono.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan berharap, kehadiran para mahasiswa UGM bisa ikut mengembangkan kawasan transmigran di kabupaten itu. Dia mengatakan, Kubu Raya memiliki 31 desa transmigran dan merupakan salah satu wilayah transmigrasi terbesar di Kalbar.
"Mudah-mudahan nanti semakin banyak penelitian dan kegiatan UGM di wilayah ini," ujarnya. (HARIS FIRDAUS)
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2019
"Ini sama-sama air dari sungai di sini, tetapi yang satu sudah dimurnikan melalui beberapa proses," katanya.
Fuad lalu menunjukkan instalasi penjernih air yang ia pakai untuk "menyulap" air kotor kecokelatan menjadi air bening tak berwarna. Instalasi yang terdiri atas sejumlah pipa dan bak penampung air itu terpasang di halaman belakang Puskesmas Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar).
Sabtu (27/7/2019) sore, Fuad memperagakan cara kerja instalasi penjernih air tersebut. Fuad adalah mahasiswa Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, yang tengah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) di Kecamatan Rasau Jaya.
Dalam pelaksanaan KKN di Rasau Jaya, UGM bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sejak 30 Juni hingga 18 Agustus 2019, 27 mahasiswa UGM menjalankan sejumlah program di dua desa di Kecamatan Rasau Jaya, yakni Rasau Jaya Satu dan Rasau Jaya Tiga.
Rasau Jaya merupakan kawasan transmigrasi yang dihuni para transmigran dari Pulau Jawa. Para transmigran datang ke Rasau Jaya pada 1970-an. Data Pemerintah Kecamatan Rasau Jaya menyebutkan jumlah penduduk di kecamatan itu 31.000 jiwa, sekitar 80 persen merupakan warga transmigran dan keturunannya.
Meski sudah tinggal puluhan tahun di Rasau Jaya, warga transmigran masih mengalami sejumlah persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, kesulitan mendapatkan air bersih. Penyebabnya, Rasau Jaya merupakan lahan gambut sehingga kualitas air tanah dan air sungainya kurang baik.
Tidak layak
Fuad menjelaskan, air sungai di Rasau Jaya mengandung bakteri dan senyawa organik sehingga warnanya merah kecokelatan. Dengan kondisi itu, air tidak layak untuk kebutuhan mandi cuci kakus (MCK), apalagi untuk minum dan memasak.
"Kebanyakan warga sini masih mandi menggunakan air sungai. Padahal, air itu bisa menyebabkan iritasi dan gatal-gatal," ujarnya.
Kondisi itu yang menggerakkan para mahasiswa UGM membuat instalasi penjernih air. Menurut Fuad, proses penjernihan air menggunakan instalasi itu berlangsung beberapa tahap. Pertama, air sungai disedot dengan pompa lalu dialirkan lewat pipa melalui sejumlah wadah berisi klorin untuk mematikan bakteri.
Setelah melewati klorin, air dialirkan ke bak penampung, lalu dicampurkan bahan kimia untuk menaikkan kandungan pH dalam air (pH up). Kandungan pH merupakan indikator tingkat asam atau basa dari air.
Proses selanjutnya adalah memasukkan bahan kimia bernama poly-aluminium chloride (PAC) ke air, lalu diaduk selama sekitar 1 menit. PAC berfungsi untuk menggumpalkan padatan yang terlarut dalam air sekaligus menurunkan kandungan pH.
Setelah itu, air didiamkan 30-45 menit agar padatan mengendap. Saat pengendapan, air yang semula berwarna merah kecokelatan akan berubah jernih. Selanjutnya air disaring dengan filter sebelum digunakan.
Fuad mengatakan, air sungai yang dijernihkan itu telah layak digunakan untuk keperluan MCK. Kelayakan itu antara lain bisa dilihat dari kandungan padatan tersuspensi total (total suspended solid/TSS) yang menyebabkan air keruh.
Berdasarkan penelitian tim mahasiswa UGM, sebelum melalui proses penjernihan, kandungan TSS air sungai di Rasau Jaya 232 miligram (mg) per liter. Setelah penjernihan dilakukan, kandungan TSS turun menjadi 68 mg per liter.
Kualitas air hasil penjernihan bisa terlihat dari pH. Sebelum pemurnian, pH air sungai di Rasau Jaya 3-4 atau bersifat asam. Setelah melalui proses penjernihan, kandungan pH naik menjadi 6-6,5.
"Rentang pH air yang aman untuk MCK 6-7. Jadi, air hasil penjernihan itu memenuhi baku mutu," katanya.
Koordinator Mahasiswa KKN UGM di Rasau Jaya, Monika Listania Yuliandari (20), mengatakan, proses penjernihan air bisa dilakukan dengan peralatan sederhana, yakni pipa dan bak penampung air. Selain itu, bahan-bahan untuk penjernihan, seperti klorin, bubuk pH up, dan PAC, bisa didapat dengan mudah dan murah." Alat penjernih air ini dibuat secara sederhana sehingga dapat direplikasi masyarakat," ujarnya.
Program lain
Monika menambahkan, selain membuat alat penjernih air, para mahasiswa UGM juga mengerjakan sejumlah program lain di Rasau Jaya. Program itu adalah membantu pengembangan taman bunga sebagai obyek wisata, pelatihan pembuatan batik tulis, serta pelatihan pembuatan produk olahan dari pangan lokal seperti jagung dan nanas.
Camat Rasau Jaya Suhartono mengatakan, masyarakat merasa terbantu dengan kehadiran para mahasiswa UGM. Proyek instalasi penjernih air itu bisa menjadi salah satu solusi persoalan air bersih di Rasau Jaya. Ke depan, instalasi itu diharapkan ditingkatkan kualitasnya sehingga bisa menghasilkan air yang layak untuk minum dan memasak.
Suhartono menuturkan, selama ini kebanyakan masyarakat Rasau Jaya mengandalkan air hujan untuk minum dan memasak karena kualitas air tanah dan air sungai yang rendah. Pada musim kemarau dan cadangan air hujan telah habis, warga terpaksa membeli air bersih dengan harga sangat mahal, Rp 2 juta-Rp 3 juta per tangki ukuran 5.000 liter.
"Harganya memang mahal karena air diambil dari Kota Pontianak yang berjarak sekitar 45 kilometer," kata Suhartono.
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan berharap, kehadiran para mahasiswa UGM bisa ikut mengembangkan kawasan transmigran di kabupaten itu. Dia mengatakan, Kubu Raya memiliki 31 desa transmigran dan merupakan salah satu wilayah transmigrasi terbesar di Kalbar.
"Mudah-mudahan nanti semakin banyak penelitian dan kegiatan UGM di wilayah ini," ujarnya. (HARIS FIRDAUS)
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar