Mereka yang Masih Pedalaman
Pekanbaru diserbu masyarakat pedalaman. Awal September lalu, ribuan orang bercawat maupun berpakaian kulit rusa tampak lalu-lalang di tengah kota. Mereka berkumpul untuk meramaikan Festival Seni Budaya Masyarakat Pedalaman Asia Pasifik. Beberapa orang masih tampak bingung melihat kendaraan yang berlalu-lalang, dan tak sedikit pula yang kesasar.
Panitia, tampaknya, mengambil hikmah dari pengalaman dan segera melengkapi tiap peserta dengan badge yang di baliknya tertulis alamat penginapan. Jadi, kalau mereka kesasar dan tak bisa berkomunikasi dengan masyarakat Pekanbaru, orang-orang itu tetap saja bisa diantar pulang ke penginapan. Tapi tak sedikit pula peserta festival dengan kaus oblong dan celana pendek ketat yang menelusuri Pekanbaru bak wisatawan.
Memang, tak jelas lagi kelompok masyarakat yang bagaimana yang masih bisa disebut sebagai masyarakat pedalaman. Pemerintah Daerah Riau, sebagai penyelenggara festival, membatasi masyarakat pedalaman dalam tiga kelompok, yaitu masyarakat yang masih berpindah-pindah tempat tinggal dan tempat pencarian nafkahnya, masyarakat yang sudah menetap tapi dengan kondisi kehidupan yang masih sederhana, dan masyarakat yang tempat tinggalnya berjauhan dengan daerah lain alias terpencil.
Salah satu masyarakat pedalaman yang terjaring dengan definisi itu adalah Suku Anak Dalam di Jambi. Maka, kelompok Suku Anak Dalam diberi kesempatan muncul di panggung Dang Merdu, menyuguhkan tarian "Pasale". Tarian ini berasal dari kata "sale" yang maknanya adalah mantra-mantra dalam upacara pengobatan orang sakit. Penonton pun hening ketika "malim" atau dukun, yang memimpin upacara penyembuhan, mulai trans sambil memekik-mekik. Ketika tarian usai, malim tampak masih trans sampai seorang penari menyapu wajahnya dan malim siuman kembali. Sekitar 1.000 penonton yang memenuhi Dang Merdu bertepuk tangan.
Suku Anak Dalam juga jadi salah satu materi dalam Seminar Masyarakat Pedalaman yang berlangsung bersamaan dengan festival. Menurut Drs. Fachruddin Saudagar dari Universitas Jambi, sampai saat ini masih terdapat kelompok Suku Anak Dalam yang hidup "melangun" atau mengembara di hutan. Mereka biasanya hidup berpindah-pindah dalam kelompok kecil sekitar lima keluarga maupun kelompok besar sampai 15 keluarga.
Ada tiga faktor yang membuat Suku Anak Dalam hidup dalam budaya melangun, yaitu pergantian musim, kematian, dan kesulitan mendapat bahan makanan. Pergantian musim penting diperhatikan orang kubu karena mereka menguasai jenis tanaman yang ada di hutan Jambi dan musim panennya. Jadi, jika sedang musim durian di satu tempat, mereka menuju ke tempat itu dan pindah jika musim durian sudah habis dan menuju daerah lain yang memiliki tanaman yang sedang berbuah.
Kematian jadi alasan untuk pindah karena keyakinan bahwa tempat seseorang meninggal adalah tempat yang sial. Mereka akan meninggalkan mayat dalam sebuah gubuk lengkap dengan barang-barangnya. Adapun alasan melangun yang ketiga lebih bersifat praktis. Suku Anak Dalam, yang masih mengenakan cawat sebagai penutup tubuh, tak mengenal budaya bercocok tanam sehingga mereka hanya mengambil bahan makanan yang tersedia, baik itu tanaman maupun hewan buruan. Jika bahan makanan di satu tempat sudah habis, mereka pindah lagi.
Kini, dengan munculnya perusahaan HPH, beberapa Suku Anak Dalam punya penghasilan tambahan. Mereka sering minta uang dari base-camp perusahaan HPH, yang biasanya digunakan untuk membeli rokok. Alasannya, HPH yang menebang pepohonan harus memberi ganti rugi karena pohon mempunyai nilai yang khusus bagi Suku Anak Dalam. Dahulu ganti rugi itu masih dalam bentuk kain--dan tiap pohon punya perhitungan setara dengan sejumlah kain--tapi sekarang mereka menagih uang tanpa ada perhitungan jelas.
Beberapa ciri lain dari Suku Anak Dalam sebagai masyarakat pedalaman adalah mereka masih terikat pada jimat atau bebesel, yang diyakini mampu mendatangkan kebaikan pada pemakainya. Salah satu jimat mereka adalah sperma gajah yang jika dilumuri di wajah akan mendatangkan kecantikan. Di samping itu, Suku Anak Dalam juga mempunyai beberapa pantangan untuk menghindari sial. Wanita hamil dan anak kecil, misalnya, dilarang melihat orang mati. Juga ada larangan mendirikan gubuk di atas bukit.
Sebenarnya, ada kecenderungan Suku Anak Dalam ingin juga keluar dari tradisi budaya melangun. "Namun, kenyataannya, mereka menghadapi kesulitan untuk hidup berdampingan dengan masyarakat lain," kata Saudagar. Itu sebabnya mereka juga melembagakan peran seorang penghubung dengan dunia luar yang disebut "jenang". Tugas "jenang" adalah untuk melakukan barter hasil hutan dengan rokok, gula, maupun kopi, dan bukan dengan kebutuhan pokok seperti beras atau pakaian.
Salah satu faktor yang membuat Suku Anak Dalam masih mampu bertahan hidup secara nomaden adalah keterikatan mereka pada adat istiadat yang kuat. Perempuan Anak Dalam, misalnya, dilarang melakukan kontak dengan orang luar. Ini membuat mereka juga masih risi untuk hidup menetap dalam kawasan permukiman yang disediakan oleh Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Suku Terasing Departemen Sosial.
Memang ada juga Suku Anak Dalam yang sudah bersedia tinggal menetap dan sama sekali meninggalkan budaya melangun. Kelompok yang sudah menetap biasanya disebut Kubu Dusun dan mulai mengenal budaya bercocok tanam--walaupun masih terbatas pada yang bersifat sederhana seperti menanam singkong--dan memakai pakaian lengkap. Bahkan beberapa di antara mereka sudah memeluk agama Islam.
Namun, bagaimanapun, makin gencarnya sepak terjang perusahaan HPH jelas akan makin membatasi ruang gerak Suku Anak Dalam. Hasilnya, mereka akan ditekan untuk mulai tinggal menetap. Apalagi, kebijakan Departemen Sosial--dengan istilah apa pun--memang mengarahkan Suku Anak Dalam meninggalkan tradisi melangun.
Kelompok masyarakat lain, yang oleh panitia masih masuk dalam definisi masyarakat pedalaman dan juga didiskusikan dalam seminar, adalah orang Seletar yang datang dari Selat Tebrau, Johor. Kelompok ini disebut sebagai sea nomad karena mereka tinggal di atas perahu dan berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain di Selat Tebrau. Namun, saat ini, tak banyak lagi orang Seletar yang masih hidup berkeliaran di laut.
Soalnya, pemerintah Malaysia lewat Jawatan Hal Ehwal Orang Asli (JHEO) sudah menyediakan kawasan khusus untuk memukimkan orang Seletar. Toh tetap saja mereka masih tinggal di atas perahu dan mencari nafkah dari lautan, walau tidak tinggal berpindah-pindah lagi. Jumlah mereka, menurut pendataan JHEO tahun 1990, sekitar 1.000 jiwa yang bergerak dalam satu keluarga di atas perahu.
Pergerakan mereka di sekitar laut membuat orang Seletar memahami cuaca dan musim. Mereka harus tahu arah angin, pasang naik, pasang surut, bulan gelap, maupun bulan terang untuk menentukan waktu dan arah perjalanan. Jika sedang tidak bisa ke luat, mereka mencari ketam dan siput di kawasan hutan bakau. Perolehan dari hutan bakau itu dijual kepada pedagang yang biasanya sengaja menunggu di kawasan pemukiman mereka.
Tiap anggota keluarga menjual hasil perolehan masing-masing. Jadi, perolehan satu keluarga tidak dikumpulkan menjadi satu. Baru kemudian ketika keluarga itu makan bersama-sama di warung perolehannya menyatu. Umumnya orang Seletar masih menganut konsep caghik ajeki atau makan untuk menyambung kehidupan. Artinya, penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga. Hanya sedikit orang Seletar yang sudah membeli beras untuk dimasak sendiri dan menyimpan sisanya untuk kebutuhan esok harinya.
Beberapa orang Seletar lain malah sudah mengembangkan perikanan, dalam bentuk pemeliharaan ikan dalam kerambah, membuat kolam, maupun berdagang. Sebenarnya, sejak tahun 1963, pemerintah Malaysia sudah melaksanakan program pemukiman orang Seletar. Kawasan pemukiman itu sengaja ditanami pohon kelapa, dan tiap keluarga memperoleh 1,5 hektare sebagai sumber pendapatan agar tak lagi hidup berpindah-pindah. Namun, ternyata panenan kelapa tak berhasil baik dan mereka kembali melaut lagi.
Menurut Zainal Abidin Borhan, dari Jawatan Pengajian Melayu, Universitas Malaya, makin banyak saja orang Seletar yang meninggalkan lautan dari kehidupan sehari-hari mereka. "Meningkatnya pembangunan di Johor Baru membuat lahan hutan bakau makin sempit, sementara polusi minyak di laut membuat hasil tangkapan mereka makin berkurang," kata Borhan, yang pernah mengadakan penelitian tentang orang Seletar.
Itu sebabnya Borhan tak kaget ketika menemukan 12 orang Seletar yang sudah bekerja di pabrik. Bahkan jumlah itu akan bertambah terus karena memang tak banyak lagi pilihan untuk mencari nafkah selain meninggalkan budaya sea nomad. "Orang Seletar hanyut meniti buih dalam kancah yang berlainan," kata Borhan menggambarkan Seletar masa depan, yang tak bisa lagi disebut sebagai masyarakat pedalaman. Dan Borhan mengutip nyanyian anak-anak orang Seletar, "Yok yok sang, ke laut lintang pukang. Yok yok sang, ke darat makan pisang."
Tampaknya, memang orang Seletar tak mampu melawan perubahan zaman karena pada dasarnya budaya mereka tak berbeda dengan budaya Melayu. Hanya dalam kehidupan praktis saja orang Seletar berbeda dengan orang Melayu daratan lainnya. Jadi, ketika orang Seletar hidup berdampingan dengan orang Melayu daratan, tak ada masalah dan identitas sea nomad segera hilang.
Ini berbeda dengan orang Aborijin di Australia, yang tak jadi datang ke festival di Riau dan akhirnya juga tidak didiskusikan dalam seminar. Biasanya orang Aborijin yang sudah tinggal di daerah perkotaan masih tetap terikat pada tradisi Aborijin. Anak laki-laki yang memasuki usia akil balig, misalnya, dibawa orang tuanya ke tempat asal suku di kawasan Northern Territory untuk upacara inisiasi. Tanpa inisiasi, anak dianggap bukan sebagai orang Aborijin.
Inisiasi itu perlu karena menurut Profesor A. P. Elkin dalam bukunya The Australian Aborigines, banyak orang Aborijin yang hidup di daerah perkotaan masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh masyarakat perkotaan. Maka, inisiasi jadi penting sebagai salah satu bentuk dari identitas diri. Apalagi ternyata di kalangan orang Aborijin di daerah utara maupun barat-tengah Australia masih ada keyakinan orang-orang yang melanggar adat bisa dijatuhi hukuman jarak jauh alias disantet.
Masyarakat Aborijin terbagi-bagi lagi dalam suku dan tiap suku dianggap memiliki teritori tertentu, tempat mereka berburu dan mencari makanan. Batas antara beberapa teritori itu biasanya berupa tanda-tanda alam, seperti sungai kecil, batu karang, maupun lekukan tanah. Namun, teritori itu tidak dianggap sebagai milik pribadi suku, sehingga pelanggaran teritori tak menyebabkan perang antarsuku. Bagi orang Aborijin alam bukanlah sumber kekayaan yang dikuras untuk mengumpulkan harga, tapi semata-mata utnuk memenuhi kebutuhan dasar saja.
Ada rasa persaudaraan yang kuat di kalangan orang Aborijin, yang bahkan memungkinkan penukaran ataupun peminjaman istri. Tradisi asli Aborijin mengesahkan praktek pertukaran istri antara sekelompok pria yang akan bertempur. Maknanya, semua anggota rombongan sudah terikat lahir dan batin. Lalu dua kelompok yang bersengketa bisa juga berdamai dengan bertukar istri sepanjang disetujui kedua kelompok.
Tapi agaknya praktek itu sudah tidak banyak berlangsung lagi. Apalagi tradisi itu memang tidak masuk dalam kebijakan pemerintah Australia untuk mempertahankan tradisi Aborijin. Pada tahun 1930-an sampai 1960-an, pemerintah Australia sempat menempuh program asimilasi antara orang Aborijin dan masyarakat Australia. Kini malah ada kesadaran bahwa asimilasi itu kekeliruan yang perlu diperbaiki.
Soalnya, program asimilasi justru membuat banyak anak-anak Aborijin hidup terasing tanpa punya identitas. Mereka ditekan untuk hidup berdampingan dengan orang kulit putih Australia, sementara orang kulit putih itu belum bisa menerima mereka sepenuhnya. Maka, pemerintah Australia tidak lagi melaksanakan program asimilasi orang Aborijin, seperti yang dilakukan Departemen Sosial di Indonesia maupun Jawatan Hal Ehwal Orang Asing di Malaysia terhadap masyarakat pedalaman.
Kementerian Federal Urusan Aborijin Autralia justru lebih maju dengan kampanye pengakuan bahwa masyarakat Aborijin mempunyai budaya dan nilai-nilai sendiri yang berbeda dengan budaya Barat. Sebagai realisasinya, sekitar 139.000 hektare tanah di daerah Northern Territory diserahkan kepada orang Aborijin. Di atas kawasan itu mereka bisa mempertahankan tradisinya, tanpa sedikit pun rasa takut akan digusur perusahaan HPH.
Liston P. Siregar (Jakarta), Irwan E. Siregar (Pekanbaru), dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993
Komentar
Posting Komentar