Berkah Makanan Berlebih
Sejuta kata makanan tidak akan pernah mengenyangkan, begitu kata Tan Malaka. Tanpa tindakan nyata tak akan mengubah apa pun. Sebagian anak negeri berinisiatif mengumpulkan makanan berlebih untuk didonasikan kepada kalangan yang membutuhkan. Nasib makanan pun terselamatkan dari akhir di tong sampah.
SAIFUL RIJAL YUNUS/AMBROSIUS HARTO/FRANSISCA ROMANA
Ramai celoteh anak rerata berumur 10 tahun terdengar dari sebuah rumah di kawasan Pademangan, Jakarta Utara, Minggu (10/3/2019) sore. Mereka tertawa, berteriak, saling ganggu, dan bermain dengan asyik. Bising suara mereka terdengar hingga keluar.
Tetangga yang rumahnya berdempetan mengintip dengan senyum dari gang kecil yang hanya bisa dilalui satu motor.
Suasana heboh mendadak surut saat sekitar 30 anak ini diarahkan untuk duduk rapi. Mereka berjejer memenuhi ruang tengah rumah yang juga Sekretariat Yayasan Kemah Kasih, rumah singgah tempat belajar karakter dan berbagai hal lain di kawasan padat penduduk ini.
Empat remaja lalu membagikan kotak makanan yang sedari tadi disusun di atas meja. Setiap anak mendapat masing-masing satu kotak. Yuni (11), satu dari anak itu, tidak menyembunyikan kegembiraannya. Senyumnya mengembang. "Senang dapat makanan. Belum tahu isinya, tetapi baunya harum," ucap siswi kelas 4 SD ini.
Yuni adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya buruh bangunan dan ibunya tukang jahit rumahan. Ia bercerita, makanan sehari-hari selalu bermenu sama, telur atau tempe, juga mi instan.
Teman-teman Yuni yang lain juga terlihat begitu gembira. Seorang anak terus menempelkan kotak makanan ke hidung. Beberapa lainnya berusaha mengintip menu yang ada dalam kotak. Serupa dengan Yuni, orang tua sebagian besar anak ini bekerja dengan upah harian yang tidak tentu.
Makanan yang dibagikan tersebut adalah makanan lebih dari sebuah hajatan pernikahan siang sebelumnya. Masakan lebih berupa ayam goreng, daging, dan nasi goreng adalah menu yang tersedia.
Istilah food waste dalam hal ini kurang tepat disematkan karena makanan tersebut belum tersentuh tamu dan masih tertampung di wadah saji. Makanan berlebih ini yang kemudian disumbangkan kepada kalangan yang membutuhkan ketimbang terbuang menjadi food waste alias sampah makanan.
Empat remaja putri dengan gerakan sosial bernama Feeding Hands mengumpulkan makanan lebih itu, menyortir, mengepak, lalu membagikannya kepada kalangan yang membutuhkan.
Kathleen, Daniela, Aileen, dan Meliana, penggerak gerakan ini, berinisiatif untuk mengumpulkan makanan lebih dari katering, roti dari toko kue, lalu membaginya ke berbagai tempat di Jakarta. Kedatangan mereka selalu disambut bahagia anak-anak dan orang dewasa di sejumlah rumah yatim, rumah singgah, atau yayasan sosial.
Tak hanya di Jakarta, gerakan serupa juga berlangsung di Surabaya. Kedatangan para relawan dari Garda Pangan di kota itu juga membuat sejumlah anak yang sedang bermain di depan sebuah rumah sederhana tersenyum cerah. Mereka tahu relawan yang datang dengan rompi hijau itu membawa roti dan kue. Ada jajanan enak yang bisa segera dinikmati, begitu kiranya pikir anak-anak Sekolah Rakyat Kejawan Putih Tambak, Mulyorejo.
Begitu antusiasnya anak-anak ini. Diberi satu kue akan minta lagi dengan alasan untuk kakak, adik, atau orang tua di gubuk tempat mereka selama ini bermukim.
"Keluarga mereka, bahkan saya, tidak mampu untuk membeli kue-kue ini. Pemberian dari Garda Pangan memberi kegembiraan bagi mereka," kata Radian, pendamping anak-anak di sekolah itu.
Relawan Garda Pangan mengumpulkan roti dan kue dari sejumlah toko kue di Surabaya. Mereka lalu menerima, memilah, dan menaruh roti dan kue dalam keranjang sebelum dibagikan ke sejumlah tempat yang dekat dengan anak-anak.
Mengolah hati
Prinsip berbagi, menghargai setiap produk masakan, serta tidak ingin makanan menjadi sampah menjadi pendorong sejumlah produsen untuk menyumbangkan makanan.
Talita Setyadi, pendiri restoran Beau, mengamini hal ini. Sejak Agustus 2015, Beau rutin mendonasikan roti-roti berlebih yang tak terjual ke berbagai kalangan yang membutuhkan di sejumlah lokasi. Upaya mulia ini terselenggara berkat kolaborasi dengan pihak yang menjadi penyalur, seperti Food for Friends dan Feeding Hands.
"Kita punya tanggung jawab terhadap makanan yang kita produski. Kita juga bekerja bukan sekadar untuk profit, melainkan juga dengan hati. Itu yang selalu saya ingatkan kepada rekan kerja saya, karyawan, bahwa satu-satunya yang buat puas adalah impact yang kita berikan kepada orang lain," kata Talita.
Beau setiap hari rerata membuat 1.500 roti, menyuplai ke lebih dari 100 toko dan restoran di Jabodetabek. Di resto dan tempat produksi roti di Cikajang, Jakarta Selatan, setiap pukul 22.00, karyawan menyusun dan memilah roti yang akan dibagikan.
Seorang pengendara ojek daring telah menunggu untuk segera membawa ke lokasi yang telah ditentukan oleh partner distribusi yang bekerja sama dengan Beau.
Dengan pola berbagi seperti ini, sambung Talita, ia merasa jauh lebih berperan dan memberi dampak. Ia terhubung dengan banyak orang, dan terinspirasi untuk berbuat baik.
"Kalau dulu saya cuma berpikir me, me, me, saya lebih bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Saya percaya bahwa berbuat sesuatu yang baik akan kembali kepada kita lagi. Saya juga menganjurkan kepada karyawan agar memanfaatkan sisa adonan yang lebih untuk dibuat menjadi sesuatu. Tidak ada yang boleh tersisa."
Upaya restoran bersiasat meminimalkan food waste ini juga ditempuh restoran mewah seperti Kaum, yang masih satu grup dengan Potato Head, di Jakarta Pusat (baca di Kompas.id).
Untuk pengungsi
Sasaran donasi makanan tak hanya panti asuhan, rumah yatim, tetapi juga menjangkau rumah penampungan pengungsi dari negara lain.
Seperti Sabtu (9/3), jelang tengah malam, kesibukan kecil penuh kegembiraan menyeruak dari sebuah gang sempit di kawasan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan.
Nimo dan Hodan, dua perempuan asal Somalia, dengan wajah berseri-seri tekun memeriksa makanan beraroma sedap yang terbungkus dalam kantong-kantong besar berlogo singa dengan tulisan "The Ritz-Carlton".
Ya, semua makanan itu berasal dari hajatan perkawinan mewah di hotel berbintang lima di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, sekitar 4 jam sebelumnya. Berkat upaya Food Cycle Indonesia, seluruh makanan berlebih itu didistribusikan kepada komunitas pengungsi asal sejumlah negara Afrika yang tinggal sementara di rumah-rumah singgah di beberapa titik di Jakarta. Total, ada 295 pengungsi asal Afrika yang terhimpun. Mereka juga diasuh lembaga nirlaba Second Chance Initiative, selain UNHCR atau Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.
Malam itu aneka masakan hangat tersalur, mulai dari nasi goreng seafood, mi goreng, beef cheek, ayam goreng, kakap goreng tepung, kambing guling, hingga udang berukuran besar.
Nimo selaku pemimpin dari African Community di kalangan pengungsi malam itu lalu menelepon perwakilan pengungsi di rumah-rumah singgah lain untuk bersiap-siap mengambil pasokan makanan berlebih yang mereka terima.
Di rumah singgahnya, Nimo dan Hodan harus menimbang dan memeriksa makanan sesuai dengan standar operasi yang dibuat Food Cycle. Observasi makanan pun dicatat dalam formulir sehingga jika ada insiden, seperti keracunan, pihak Food Cycle bisa melacak mundur.
"Kalau belum bisa terdistribusi malam ini, makanan ini kami simpan dulu di kulkas penyimpanan," ujar Nimo sambil menunjuk ke lemari pendingin di salah satu sudut ruang.
Lemari pendingin itu merupakan salah satu donasi pada Food Cycle yang lalu dipinjamkan kepada komunitas penerima makanan. Malam itu para pengungsi mendapat suplai 84 kilogram makanan, selain dari The Ritz-Carlton, juga dari hotel Fairmont Jakarta.
Tak berapa lama, tiga lelaki, yang juga pengungsi asal Afrika dari rumah-rumah penampungan lain, muncul dengan wajah semringah. Rozi, Nahol, dan Murad, ketiga lelaki itu, lalu membawa jatah makanan ke rumah singgah mereka, sekitar 1 kilometer dari tempat Nimo. Berupa rumah mungil dua lantai di gang sempit yang dihuni sekitar 30 pengungsi. Para penghuninya masih terjaga.
"Kami pengungsi tidak ada pekerjaan. Siang tidur, malam terjaga," kata Rozi.
Rozi lantas mengambil satu kantong nasi goreng ke salah satu kamar. Ia menggigit kantong plastik kemasan untuk membuat bukaan, lalu dituangkan isinya ke piring. Dengan takzim, ketiganya menyantap nasi goreng hangat dari satu piring yang sama.
Berkah tengah malam itu sungguh terasa hangat di hati. (SF/SYA)
klik.kompas.id/feedhands
klik.kompas.id/bagipengungsi
Sumber: Kompas, 17 Maret 2019
Komentar
Posting Komentar