Muryani: Inovasi Destilator Sampah Plastik
Defri Werdiono
Sejak tahun 2009, Muryani (60) yang mengenyam pendidikan sampai kelas 1 SMP berhasil membuat destilator sampah plastik secara otodidak. Sembilan tahun terakhir, dia memproduksi destilator yang mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak sebanyak lebih dari 100 unit.
Di tengah panas terik yang menerpa pinggir Kelurahan Wlingi di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Kamis (23/6/2019) siang, Muryani beristirahat sejenak. Dia sedang berada di kantor bank sampah tingkat kelurahan, tepat di sisi makam desa.
Sementara itu, di bengkel kerja yang berlokasi tidak jauh dari Muryani berada, salah seorang anaknya, Diding Rulianto, sibuk menyelesaikan destilator pesanan konsumen. Alat itu dibuat secara manual.
Dibantu oleh adik kandung Suripto dan Diding, Muryani membutuhkan waktu rata-rata 20 hari untuk membuat sebuah destilator. Satu unit mesin berkapasitas 10 kilogram sampah dijual seharga Rp 30 juta, kapasitas 30 kilogram seharga Rp 55 juta, dan kapasitas 50 kilogram seharga Rp 75 juta. Sementara untuk kapasitas 100 kilogram harganya dibanderol Rp 95 juta.
Sejauh ini pesanan datang dari sejumlah pihak, terutama dinas kebersihan kabupaten dan kota. Pemesan tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, tetapi juga daerah lain, seperti Sumatera dan Kalimantan.
"Selama tahun 2019 ini ada tujuh unit pesanan. Satu tahun rata-rata ada 20 unit pesanan," ujarnya.
Menurut Muryani, ada tiga jenis bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan dari proses daur ulang sampah plastik menggunakan destilator buatannya. Ketiganya adalah solar, bensin, dan minyak tanah yang dia sebut sebagai BBM Plas.
Volume bahan bakar hasil proses destilasi bervariasi, tergantung jenis bahan baku. Jika yang didaur ulang sampah plastik keresek, setiap 10 kilogram sampah menghasilkan 5-6 liter solar, 1-5 liter minyak tanah, dan 2,5 liter bensin.
Dengan produksi terbatas, sudah ada pelanggan yang membeli BBM Plas. Solar, misalnya, biasa dibeli petani setempat untuk menghidupkan traktor. Begitu pula bensin dipakai untuk menghidupkan sepeda motor, termasuk untuk operasional sepeda motor roda tiga yang biasa digunakan mengangkut sampah di tempatnya bekerja.
"Bensin saya jual Rp 7.000 per liter dan solar Rp 6.000. Produksi BBM-nya memang sedikit karena saya tidak mengutamakan jumlah, tetapi saya punya keinginan bisa berbuat sesuatu untuk lingkungan. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, Indonesia penghasil sampah kedua terbesar di dunia," kata ayah empat anak ini.
Diajari ayah
Pengetahuan Muryani dalam membuat destilator diperoleh dari ayahnya, almarhum Sutarji. Saat Muryani duduk di bangku kelas IV SD, sang ayah yang bekerja sebagai petani memberi tahu Muryani bahwa ember plastik bisa menghasilkan cairan jika dibakar dalam wadah khusus. Cairan itu bisa disulut seperti BBM.
Kala itu Sutarji memberi contoh. Ia mengambil kaleng bekas sebagai wadah pecahan ember plastik. Pada bagian tutup kaleng diberi lubang dan pipa, sedangkan bagian bawah kaleng kemudian dibakar. "Ternyata dari kaleng itu menetes cairan yang bisa terbakar saat disulut," ujar pria yang selama sekolah menyukai mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam itu.
Upaya Muryani pernah muncul pada tahun 1978 saat menjadi transmigran di Lampung. Muryani menjadi transmigran tahun 1976-2002. "Saat di Lampung, saya mencoba lagi, tetapi gasolin (cairan BBM) yang saya hasilkan belum bisa dipakai untuk menghidupkan sepeda motor," ucapnya.
Upaya Muryani pernah muncul pada tahun 1978 saat menjadi transmigran di Lampung. Muryani menjadi transmigran tahun 1976-2002. "Saat di Lampung, saya mencoba lagi, tetapi gasolin (cairan BBM) yang saya hasilkan belum bisa dipakai untuk menghidupkan sepeda motor," ucapnya.
Setelah kembali ke Jawa, tahun 2009, salah satu anaknya, Didik Hermansyah, memberi tahu Muryani bahwa di Jepang ada destilator berukuran besar. Didik memperoleh informasi itu dari internet. Muryani yang merasa pernah punya pengalaman menghasilkan cairan BBM langsung menyambut usulan sang anak untuk membuat destilator. Sejak tahun 2004, dia merupakan anggota "pasukan kuning" di Kelurahan Wlingi, Blitar.
Lalu mulailah Muryani membuat mesin destilasi. Bahannya dari pelat dan botol air mineral sebagai kondensor (pendingin yang sekaligus berfungsi memilah bahan bakar). Semua biaya menggunakan uang dari kantong sendiri. Upaya itu membuahkan hasil, tetapi BBM yang keluar belum bisa digunakan untuk kendaraan. Ia harus menambahkan octane booster, baru BBM itu bisa dimanfaatkan.
"Setelah itu saya terus mencoba berinovasi. Proses demi proses saya lakukan sampai tahun 2010 saya menemukan pemilahan hasil. Saat itu satu unit mesin bisa mengeluarkan solar, minyak tanah, dan bensin. Namun, semua butuh penambahan octane booster," ucap anak ketiga dari empat bersaudara itu.
Kini, meskipun destilator ciptaannya banyak dibeli orang, hal itu tidak membuat Muryani hengkang dari pasukan kuning. Sehari-hari ia tetap menjalani pekerjaannya itu, memilah dan memproses sampah. Ia juga tidak berencana mendirikan perusahaan alat destilasi sendiri.
Begitu pula dengan uang penjualan destilator, tidak masuk ke kantongnya. Uang itu digunakan untuk gaji petugas kebersihan yang berjumlah tujuh orang serta masuk dana kas dan biaya operasional bank sampah. Semua yang dia lakukan semata-mata untuk mengurangi sampah plastik yang semakin banyak. Muryani tak pernah memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
"Penjualan sampah plastik bekas laku murah dan produk yang dihasilkan akan kembali mengotori lingkungan. Mungkin meniru orang tua saya yang peduli lingkungan. Pengetahuan saya soal IPA jika tak seiring dengan Ilmu Pengetahuan Sosial, maka yang saya lakukan tak akan berjalan sempurna," tuturnya.
Apa yang dilakukan Muryani juga punya andil terhadap dunia pendidikan. Lokasi bank sampah menjadi tempat edukasi. Sejumlah mahasiswa dari beberapa kota di Jawa Timur menjadikan model penanganan sampah di tempat itu menjadi bahan penelitian.
Tidak mengherankan jika lelaki yang berencana terus berinovasi mengembangkan ciptaannya itu menerima sejumlah penghargaan, baik dari pemerintah kabupaten maupun Provinsi Jawa Timur. Kementerian terkait juga berkunjung ke bank sampah tempatnya bekerja dan memberikan apresiasi.
Muryani
Lahir: Blitar, 11 November 1959
Istri: Sutriami (alm)
Anak:
- Diding Rulianto
- Didik Hermansyah
- Pipit Ernawati
- Anton
Pendidikan:
- SDN Slorok, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar
- SMP PGRI Wlingi (hanya kelas I)
Penghargaan, antara lain:
- Juara I Lomba Kreativitas dan Teknologi Kabupaten Blitar (2017)
- Terbaik II Bidang Energi Inovasi Teknologi Tingkat Provinsi Jawa Timur (2017)
- Pelestari fungsi lingkungan hidup dari Bupati Blitar (2018)
- Pionir pengolahan sampah menjadi bahan bakar dari Kapolres Blitar (2019)
Sumber: Kompas, 28 Juni 2019
Komentar
Posting Komentar