Lo Siauw Ging: Mengabdi untuk Kemanusiaan

Erwin Edhi Prasetya

Semangat melayani dan mengobati pasien masih menyala-nyala dalam diri dokter Lo Siauw Ging. Walaupun usianya sekarang menginjak 84 tahun, dokter tanpa tarif di Kota Solo, Jawa Tengah, ini masih ingin terus mengabdikan diri untuk kemanusiaan.

"Selama saya masih bisa, saya akan terus bekerja," ujar dr Lo Siauw Ging MARS di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Jawa Tengah, Kamis (14/3/2019).

Selain praktik di RS Kasih Ibu, dr Lo juga membuka praktik dokter umum di rumahnya di Jalan Jagalan No 27 Solo, setiap Senin-Sabtu pukul 16.00-20.00. Di usianya yang sudah senja ini, dr Lo masih melayani 20-30 pasien per hari. Ketika masih muda dulu, pasiennya bisa mencapai 100 orang sehari. "Pasien tentu sudah berkurang karena saya sudah tua," ujarnya.

Dr Lo tidak pernah menetapkan tarif kepada pasiennya. Pasien dari kalangan masyarakat miskin tak dimintai bayaran sama sekali. Tidak hanya menggratiskan mereka, bahkan Lo juga menebus tagihan obat pasien tidak mampu. Namun, pasien Lo bukan hanya dari kalangan masyarakat miskin, sebagian malah merupakan masyarakat umum yang berpunya. Kepada pasien yang mampu itu pun, Lo juga tidak mematok tarif tertentu alias sukarela. Semua diserahkan kepada kerelaan masing-masing pasien dan keluarganya. 

"Pasien yang tidak mampu tak perlu bayar obat di apotek. Kalau yang mampu, biasanya mereka nanti beli obat sendiri," ujarnya.

Lo tidak memiliki apotek sendiri. Saat ada pasien warga miskin datang berobat kepadanya, ia akan menuliskan resep dengan memo khusus. Pasien itu kemudian diminta mengambil obat di apotek yang telah ditunjuknya, yakni Apotek Budi Asih.

Pihak apotek akan memberikan obat sesuai dengan resep yang diberikan Lo kepada pasien tersebut tanpa menarik biaya sedikit pun. Setiap bulan, pengelola apotek akan mengirimkan tagihan-tagihan biaya obat-obat para pasien tidak mampu itu kepada Lo. Tagihan yang harus dibayar dr Lo bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga Rp 10 juta per bulan. "Prinsipnya, bagi saya orang yang tidak mampu juga berhak untuk berobat," tuturnya.

Prinsip kerja tersebut tidak hanya diterapkan Lo ketika praktik dokter umum di rumahnya. Di RS Kasih Ibu, pasien tidak mampu yang berobat kepadanya juga tidak ditarik biaya. "Biasanya banyak pasien dari panti, baik panti jompo maupun panti asuhan, anak-anak yatim-piatu berobat dengan bebas ke sini," ujarnya.

Kepada para pasien tidak mampu yang berobat kepadanya di RS Kasih Ibu, Lo juga akan memberikan resep dengan memo khusus setelah memeriksa mereka. Pasien menukarkan resep tersebut ke apotek RS Kasih Ibu tanpa membayar biaya obat. Biaya obat pasien selanjutnya akan ditagihkan kepada dr Lo atau diambilkan dari kas Dana Sosial dr Lo yang dikelola RS Kasih Ibu. Dana sosial ini bersumber dari para donatur. 

"Terus terang saja, dananya (untuk membayar obat pasien), di samping dari saya pribadi, juga ada dari donasi-donasi. Pada umumnya orang tidak mau memberi tahu, tidak menyebut namanya saat memberi donasi itu," ujar Lo, yang pernah mengemban tugas sebagai direktur RS Kasih Ibu tahun 1982-2004 ini.

Lo memilih cara hidup sederhana. Ia merasa kebutuhannya sehari-hari sudah sangat tercukupi sehingga tidak perlu menetapkan tarif kepada pasien. Toh, selama ini juga tidak perlu mengeluarkan berbagai biaya untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Setelah menikah dengan Maria Gan May Kwee, istri tercintanya, Lo tidak dikaruniai anak.

"Saya berkeluarga kebetulan tidak ada anak. Jadi, kebutuhan pribadi dan istri sedikit sekali. Kenyataannya, kan, demikian bahwa kebutuhan untuk anak jauh lebih besar," ujarnya.

Lo mengungkapkan, sejak remaja ia memiliki keinginan menjadi dokter mengikuti jejak saudaranya. Setelah menamatkan pendidikan dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1962, Lo mengabdi sebagai pegawai negeri yang bertugas di beberapa daerah, antara lain Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta; serta Boyolali, Wonogiri, dan Solo, Jawa Tengah.

Di Solo, Lo kemudian menjadi tenaga medis di RS Panti Kosala (kini bernama RS Dr Oen). Di RS inilah Lo bertemu dr Oen Boen Ing, sosok yang berperan besar dalam pendirian RS Panti Kosala.

Dokter bukan pedagang

Dari seniornya itu, Lo banyak belajar. Oen dikenal sebagai dokter yang mengabdikan total hidupnya menjadi penolong bagi sesama. Oen yang lahir di Salatiga, 3 Maret 1903, memiliki prinsip bahwa tugas seorang dokter hanyalah menyembuhkan orang sakit, tiada yang lain. Saat membuka praktik dokter di rumahnya di Kestalan, Solo, dr Oen tak menarik bayaran dari pasien miskin. Hingga kini, Lo menjadikan dr Oen sebagai sosok panutan sekaligus idolanya. 

Selain dr Oen, Lo juga ingat betul nasihat sang ayah ketika ia menyatakan keinginannya menjadi dokter. Lo diingatkan, jika ingin jadi dokter, tidak usah memikirkan dagang. Nasihat itu menguatkan hatinya membantu pasien miskin tanpa menarik biaya.

Dengan merendah Lo menuturkan, setiap orang bisa berbuat kebaikan bagi sesama, tidak hanya dokter. Orang bisa berbuat kebaikan dengan cara dan kemampuan masing-masing.

"Kebetulan saya dokter. Tapi, sebetulnya setiap manusia itu bisa berbuat baik untuk sesama manusia, saya kira sama saja semuanya. Cuma skalanya lain, ada yang kecil ada yang besar. Kalau saya sebagai dokter kebetulan lebih mudah karena pada umumnya soal kesehatan itu banyak dibutuhkan orang," ujarnya.

Kebaikan Lo menolong pasien miskin sudah diketahui luas tetangga dan masyarakat di Solo sejak lama. Saat pecah kerusuhan berbau SARA pada 1998 di Solo, masyarakat sekitar kediamannya tak melupakan kebaikan Lo. Para pemuda dan masyarakat setempat menjaga rumahnya agar tak menjadi sasaran amukan massa.

Di tengah situasi mencekam karena penjarahan, perusakan, dan pembakaran toko-toko saat itu, Lo tak mau dievakuasi. Ia tetap membuka praktik dokter di rumahnya yang berada persis di pinggir jalan. Ini karena ia tidak ingin jika ada orang sakit datang berobat tidak mendapat pertolongannya karena tidak praktik.

Seperti dr Oen, Lo ingin terus mengabdikan dirinya secara total untuk kemanusiaan. Di usianya yang hampir menginjak 85 tahun, dr Lo masih praktik di RS Kasih Ibu pada pukul 09.30-11.30 dari Senin-Jumat. Lo kini melayani pasien sambil duduk di kursi roda. Setelah mengalami patah tulang paha dua tahun silam, ia harus menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Namun, hal itu tak menghalanginya untuk mengobati orang sakit.

Lo pun tak mau lama-lama beristirahat setelah pulih dari sakit yang membuatnya harus opname di RS Kasih Ibu pekan lalu. Sehari setelah pulang dari RS, Lo kembali masuk kerja karena banyak pasien harus disembuhkan. Lo meyakini, akan selalu ada dokter-dokter lain yang membantu masyarakat miskin berobat. "Pasti ada. Kesempatan-kesempatannya selalu ada," ujarnya.

Lo Siauw Ging
Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934
Istri: Maria Gan May Kwee (72)
Pendidikan:
  • - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962
  • - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995
Pekerjaan: Dokter di RS Kasih Ibu, Solo



Sumber: Kompas, 19 Maret 2019

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...