Tatkala Gajah Berlaga Pelanduk pun Terjepit
Festival Budaya Pedalaman se-Asia Pasifik berlangsung di Pekanbaru, pada 2-5 September lalu. Walaupun ada yang berpakaian cawat dan kulit kayu, pengalaman mereka tentang sistem ekologi sangat canggih. Karena itu, ada orang yang menyebut bahwa inilah festival yang menyindir-nyindir kaum kapitalis perusak hutan. Lalu, apa problem yang dihadapi suku pedalaman itu? Siapa saja mereka?
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja ....
Cuplikan sajak di atas bisa didengar dalam film Yang Muda Yang Bercinta, yang sedang beredar di pelosok-pelosok kota di negeri ini. W. S. Rendra, penyair yang membaca sajaknya itu dalam film, memang tidak hadir pada Festival Budaya Pedalaman se-Asia Pasifik yang berlangsung di Pekanbaru, awal September lalu. Tetapi, betapa makna puisinya merasuk kental di sana. Bahwa kaum kapitalis "perusak hutan" dengan masyarakat pedalaman seolah-olah selalu bagai kucing dengan tikus. Metafora ini dengan rancak divisualkan oleh pelbagai nomor tari pertunjukan pada peristiwa bergengsi--dan perdana--di wilayah Asia Pasifik ini.
Tengoklah tari Beringin Keutuhan dari suku Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau ini. Tari itu terasa sangat menyindir-nyindir. Mulanya, ruang kosong di Teater Arena Dang Merdu Pekanbaru itu gelap bak bumi nan sepi. Tetapi ketika cahaya merah menyirami, tampak tujuh bidadari turun gemulai dari kayangan.
Seorang di antaranya menjunjung "bebungaan" perlambang pohon beringin. Mereka duduk bersimpuh, dan mengelilingi perawan yang menjunjung "beringin". Inilah pohon yang turun dari "bapak yang asal" ke "bunda yang asal"--perlambang hubungan makrokosmos dan mikrokosmos. Tatkala suara gendang bertalu-talu, sekelompok lelaki muncul melingkari bidadari tadi. Mereka pun saling merangkai tangan menjaga para perawan dan sang beringin. Lalu, nyanyian panjang seorang dukun yang mengajarkan bahwa menebang pohon adalah pantangan pun terdengar mendayu-dayu. "Jika itu dilanggar, roh-roh pun murka hingga bencana pun datang."
Tarian simbolis ini kian transparan tatkala tiga lelaki bertelanjang dada sontak datang bagai subversi. Ada upaya mereka yang disebut dengan "roh-roh jahat" ini hendak merampas pohon beringin tersebut. Tetapi adat memang tak lapuk dek hujan, tak lekang dek panas. Buktinya, betapa ketiga lelaki itu--seolah menyimbolkan kapitalis perusak hutan--gagal melaksanakan hajatnya. Ketika tari usai, tepuk tangan penonton pun riuh.
Festival yang diikuti 1.200 peserta dari 17 provinsi di Indonesia serta partisipan Thailand, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Cape Town ini memang unik. Mungkin Anda, orang kota, sering salah paham, dan lalu menyebut "inilah festival orang-orang primitif". Paling tidak tatkala festival yang menelan biaya Rp 500 juta itu dibuka dengan pawai akbar keliling kota. Sayangnya, partisipan mancanegara tak menampilkan budaya pedalaman, hingga mereka hadir hanya untuk sebuah seminar tentang suku terasing itu.
Kesan "primitif" itu, misalnya, terlihat pada tubuh mereka yang cuma dibungkus cawat. Atau pakaian kulit kayu. Sebutlah suku Sakai dari Riau, mereka berjalan sembari menyandang bubu alat penangkap ikan di sungai. Ada pula orang Dayak dari Kalimantan Timur, suku Kubu dari Jambi, suku Mentawai dari Sumatera Barat, serta suku Asmat dari Irian Jaya. Benarkah mereka primitif?
Sepintas pandang memang ada benarnya. Tetapi, secara substansial, seorang etnomusikolog, Ashley Turner, menyangkalnya. "Esensi kebudayaan mereka bahkan sangat canggih," kata konsultan Ford Foundation di Jurusan Etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara ini kepada TEMPO. Karena, bukankah makna "canggih" adalah mereka yang banyak mengetahui atau berpengalaman, hingga mampu bertahan dan memelihara keseimbangan sosial budaya, serta melestarikan diversitas dan keseimbangan alam secara produktif?
Di dalam Nyanyi Panjang suku Petalangan--suatu bentuk sastra lisan pedalaman Riau--alam bahkan dianggap makhluk hidup yang suci, yang dapat disakiti, dirusak, dan bahkan mati, kalau pemanfaatannya dilakukan secara salah dan semena-mena. Lebih unik lagi mereka menganggap alam adalah diri mereka sendiri. Karena itu, tindakan dari siapa pun yang menyakiti dan mematikan alam samalah artinya dengan menyakiti dan membunuh diri sendiri.
Ajaran sistem ekologi itu memang tergambar pada pelbagai upacara yang mengandung metafora kosmologi, yakni persebatian (kesatuan dan persatuan) antara manusia dan alam. Itulah sebabnya mengapa masyarakat pedalaman di Riau sangat gigih mempertahankan berbagai kegiatan budayanya. Misalnya, seperti tergambar dalam upacara "Belian" (pengobatan) maupun upacara "Menumbai Sialang" (memanen madu lebah) dari pohon sialang.
Tarian Menumbai Sialang, misalnya, dipergelarkan suku Talang Mamak dari Desa Kepenuhan Hilir, Kampar, Riau. Ketika lampu temaram perlahan terang, tampak seorang lelaki bercelana pendek hitam dan baju hitam. Dialah juagan yang nanti akan memanjat pohon Sialang, yang di teater arena dihadirkan berupa dahan kayu berdaun secara simbolis. Mula-mula juagan mendendangkan tumbai (mantera) pemujaan terhadap kawanan lebah yang bersarang di atas pohon.
Upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari ketika bulan gelap. Salah satu mantera pemujaan yang dinyanyikan adalah (setelah diindonesiakan): "alangkah elok parang adik ini buat peraut baling-baling, alangkah elok mahligai adik ini tempat kita duduk bersanding." Alangkah uniknya, manakala lebah dianggap sebagai putri jelita yang elok budi, yang tulus menyerahkan madunya bagi manusia.
Ada pula mantera-mantera yang mencerminkan perlindungan alam. Itulah sebabnya adat mereka menetapkan bahwa rimba pohon sialang tidak boleh ditebangi dan dirusak. Pelanggaran terhadap larangan ini akan didenda dengan kain putih hingga bisa mengkafani pohon sialang yang tingginya paling rendah 30-an meter itu. Bahkan ada pula yang terpaksa diusir jika melakukan pelanggaran berulang kali.
Sebelum menumbai, lebih dulu dilakukan besolang atau musyawarah di antara kepala pesukuan batin, pemangku adat, dan juagan. Pohon sialang lazimnya merupakan pohon tertinggi di rimba yang dirawat dengan cara menyiraminya dengan air intan dan membersihkan semak-semaknya. Bersamaan dengan pantang larang, tradisi perlindungan itu pun langgeng, dikontrol adat besolang.
Memanen madu lebah ini memang menunjang kehidupan mereka. Bayangkan, di setiap pohon bisa bertengger seratusan sarang lebah--dan bisa dipanen tiga kali setahun--dengan panen besar pada Desember hingga Februari. Dari satu sarang saja bisa diperoleh 10 liter madu, yang jika dijual harganya Rp 8.000 seliter. Pembagian hasilnya pun diatur pantun adat yang berbunyi, "Mendapat sama berlaba/ Hilang sama merugi/ Hati gajah sama dilapah/ Hati tungau sama dibagi."
Tetapi kecanggihan sistem menumbai lebah ini sejak tahun 1992 lalu kian terancam. Sebuah perkebunan swasta di situ dengan ganas menebangi pohon sialang. Akibatnya, seperti dituturkan Idris, 47 tahun, yang berperan sebagai juagan dalam tari Menumbai Sialang ini, sekarang pohon sialang tinggal beberapa batang lagi di Kepenuhan Hilir. Rupanya, mereka tak berdaya melawan investor yang punya izin dari Pemerintah. "Maklumlah, kami tidak bertulang," tamsil Idris, memelas.
Jadi, siapakah yang punya "tulang" di Riau? Tentu saja Pemerntah, yang mengubah sedemikian luas hutan untuk berbagai proyek pembangunan. Di luar migas, di sana ada pabrik pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 644.000 ton setahun. Industri kayu pada 1991 bahkan adalah primadona nilai ekspor Riau sebesar US$ 268,2 juta. Lalu, belakangan ini muncul pula raksasa baru berupa perkebunan-perkebunan besar negara dan swasta. Bayangkan, jika saat sekarang ini lebih dari satu juta hektare hutan Riau kini telah "disulap" menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet.
Ditambah lagi dengan pembukaan lahan transmigrasi, jelas telah semakin menggusur habitat sekitar 36.000 jiwa masyarakat pedalaman di Riau. Loekman Soetrisno, peneliti dari UGM Yogyakarta, bahkan menyindirnya dengan mengutip pepatah Melayu: gajah berlaga, pelanduk mati di tengah. Adakah sang gajah ini, agaknya, yang layak disebut sebagai pihak yang mempunyai "tulang" di Riau, boleh jadilah.
Provinsi Riau cuma 28,7% terdiri daratan--selebihnya lautan--dari luas wilayah 329.668 km2. Inilah yang sebagian dikuasai konsesi minyak sejak masa kolonial. Pada hakikatnya perusahaan inilah yang menjadi "penguasa tunggal" atas tanah. Karena, setiap usaha lain haruslah memperoleh izin dari mereka sesuai dengan UU Pokok Pertambangan No. 11/1967. Konon, di Riau ada 13 perusahaan pemegang kontrak wilayah kuasa pertambangan (WKP) dari Pemerintah.
Dalam pada itu, ada pula UU Pokok Transmigrasi No. 3/1972 dan UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. Dalam suasana seperti itu tak dapat dihindari munculnya tumpang tindih antara lokasi "ketiga penguasa tunggal" atas tanah itu. Keadaan makin rumit manakala muncul pula "penguasa tanah" lainnya, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN), penjelmaan dari instansi Agraria sebelumnya. Bisa dibayangkan, betapa masyarakat pedalaman yang sering juga disebut "masyarakat terasing" kian terancam eksistensinya.
***
Fenomena ini kian menarik karena kasus masyarakat pedalaman ini bukan cuma milik Riau. Ngomong tentang terminologi masyarakat pedalaman, misalnya, ternyata sifatnya universal. Ciri yang umum yang dari segi geografi terasing dari pusat perkotaan. Tetapi, benang merah yang paling menarik adalah "kedekatan mereka dengan alam dan bahkan menganggap alam merupakan bagian yang menyatu dengan kehidupan dan kebudayaan mereka.
Suku Aborigin di Australia, misalnya, juga terdorong untuk memelihara tanah dan hutan. Jika tanah tetap subur, binatang buruan mereka pun terjamin populasinya. Jadi, mungkin yang berbeda adalah cara merespons alam itu sendiri karena memang alamnya berbeda. Sebagai contoh, suku pedalaman Riau yang tinggal dalam hutan, dengan suku Anak Laut yang berdiam di perairan Riau, atau Malaysia dan sebagian Aborigin yang bermukim di tanah gurun.
Ciri lain adalah kecenderungan hidup berpindah-pindah (nomaden). Suku Aborigin suka berpindah bukan sekena hati saja, melainkan selalu melihat rotasi musim. Naluri mereka mengharuskan mereka selalu mencari wilayah gurun yang punya air. Karena biasanya di mana ada air di situ ada binatang buruan. Jadi, mereka tidak akan mendiami suatu kawasan gurun secara terus-menerus. Cara begitu akan mengancam sumber air--dan otomatis mengancam kehidupan mereka.
Suku Anak Laut di perairan Riau juga idemdito. Namun, jangan lupa sikap nomaden ini sangat rasional. Karena mereka berpindah-pindah itu tak lain untuk menyesuaikan diri dengan musim ikan yang juga berpindah dari suatu wilayah perairan ke perairan lain. "Ingat, musim ikan itu selalu mengikuti cuaca," kata Ashley. Uniknya, rotasi perpindahan itu bisa berlangsung 3 atau 4 kali dalam setahun. Tetapi dalam siklus setahun ini mereka kembali ke wilayah semula hingga terjadi semacam "back to basic".
Suku pedalaman di Riau daratan juga punya titik sentral. Meskipun mereka nomaden, akhirnya mereka kembali ke titik sentral setelah sekian kali melakukan "ladang berpindah". Dalam setahun mereka biasanya berladang selama enam bulan. Enam bulan berikutnya mereka akan mengutip hasil hutan, misalnya rotan atau kayu. Ini berlangsung selama tiga tahun. Nah, pada dua periode enam tahun berikut mereka berpindah menggarap ladang baru. Barulah setelah sembilan tahun, mereka kembali ke titik sentral.
Maka, tersangkallah perndapat yang menuding sikap nomaden dengan perladangan berpindah itu sebagai tindakan merusak hutan. Karena dengan rotasi dan siklus masa tertentu itu, tanah yang pernah diladangi malah kian subur. Studi antropologi menyebutkan, proses panjang berguru pada alam inilah yang membentuk sebuah mitos yang cinta pada alam. "Mestinya pemerintah harus berguru pada mereka," kata Ashley, yang pernah meriset langsung di wilayah suku pedalaman Riau selama 16 bulan pada 1984 hingga 1985.
Adat membuka ladang itu tergambar jernih pada syair berikut dari suku Petalangan di Riau ini.
Ladang dibuka ada adatnya
Ada undang pantang larangnya
Pertama, mencari tanah yang elok
Apakah pertanda tanah yang elok?
Satu menengok ke yang sudah-sudah
Dua menengok "susuk" tanahnya
Tiga menengok pada hutan belukarnya
Apakah yang ditengok pada "susuk" tanahnya?
Tanah yang tidak ada sangkaknya
Tidak ada "penunggu" atau "petakanya"
Kalau ditebas tidak menegur
Kalau ditebang tidak menyapa
Kalau dibakar tidak melarat apinya
Kesadaran pada kebakaran hutan tertuang pula pada pantun berikut.
Membakar tak boleh dipermainkan
Ditengok ketika dengan harinya
Ditilik angin dengan panasnya
Mereka juga tak mau berladang di luar musim yang ditentukan.
Musim sudah ada ketentuannya
Tahun sudah ada ketetapannya
Kalau menebas pada musimnya
Kalau menebang pada waktunya
Kalau membakar pada harinya
Tidak boleh dialih-alih
Kalau dialih pada hampa
Tenaga terbuang hasil tak ada.
(Dari Adat Berladang dan Pantang Larangnya, Tenas Effendy)
Sistem budaya seperti inilah yang mereka amalkan selama ribuan tahun. Karena dari studi arkeologi, adalah suku Wedoide, yakni bangsa pengembara penganut kebudayaan mesolitikum (kebudayaan batu tua), yang mendiami Riau kali pertama. Berikut pada tahun 2500-1500 Sebelum Masehi, datang pula suku Proto Melayu, penganut kebudayaan batu baru. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Suku Sakai, Talang Mamak, dan Petalangan. Gelombang berikut pada 300-150 SM muncul pula suku Deutro Melayu (Melayu Muda) yang berkebudayaan megalitikum.
Belakangan berdiri Kerajaan Pekantua pada tahun 1390-an di tepi Sungai Siak sekarang--menyusul Kerajaan Pelalawan. Tetapi kerajaan kaum pendatang ini sangat menghormati penduduk asli yang sekarang disebut suku pedalaman. Kerajaan pendatang ini mula-mula menempuh upacara Bergitau, yakni sebuah seremoni pengakuan kerajaan pada eksistensi adat masyarakat asli. Sebagai imbalannya, kerajaan baru ini pun berhak menguasai tanah di wilayah yang disepakati.
Nah, zaman kerajaan Melayu Riau inilah boleh disebut sebagai zaman keemasan suku pedalaman di Riau. Yang unik ketika itu penduduk asli ini tidak memakai cawat atau berpakaian kulit kayu, tetapi sama-sama memakai pakaian kain seperti halnya masyarakat kerajaan. Maklum, pihak kerajaan berperan menampung hasil bumi penduduk asli seperti rotan, kayu gaharu, kemenyan, serta daun dan akar bahan obat-obatan untuk dijual ke luar negeri.
Saat itu, hubungan kerajaan dan penduduk asli sangat mesra. Jika raja sakit, para batin atau kemantan alias dukun dari penduduk aslilah yang mengobatinya. Jika ada pesta perkawinan di kerajaan, penyanyi-penyanyi suku aslilah yang menghiburnya. Begitu juga keterampilan para pendekar asli jika kerajaan dalam bahaya. Saat itu kebudayaan mereka mekar oleh prinsip Bergitau, yang mengisyaratkan posisi "berdiri sama tinggi, duduk sama rendah".
Zaman keemasan ini berakhir bersama pemerintahan Kerajaan Pelalawan yang dipimpin Sultan Hasyim pada 1940. Karena seusai itu Jepang pun masuk hingga penduduk asli tadi melarikan diri jauh ke hutan pedalaman. Maklum, jika bertahan, mereka akan terkena perbudakan Jepang yang dikenal dengan kerja paksa itu. Sejak itu, apa boleh buat, budaya cawat dan pakaian kulit kayu pun dilakukan lagi sebagai satu-satunya alternatif.
Pemerintah melalui Departemen Sosial bukannya tidak punya perhatian terhadap suku pedalaman ini. Namun, tidak seperti kerajaan Melayu dulu yang datang dengan adat Bergitau, Pemerintah datang dengan pendekatan berbau etnosentris, yang selalu menganggap masyarakat pedalaman itu primitif dan karena itu harus dimodernkan. Tak terkecuali perusahaan HPH, proyek transmigrasi, perkebunan negara dan swasta, semuanya datang tanpa merasa perlu bermusyawarah dengan suku pedalaman ini.
Tak heran jika perumahan yang dibangun Departemen Sosial umumnya kosong melompong. "Karena dibangun tanpa musyawarah," kata Marasi Simanjuntak, 57 tahun. Kepala SMP Negeri 3 Rengat ini memang sudah 30 tahun bergaul intim dengan suku Talang Mamak di pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu. Ia bahkan adalah ketua kontingen seni pertunjukan dari suku ini di Festival Budaya Pedalaman di Pekanbaru tersebut.
Padahal, rumah suku ini ada syaratnya. Misalnya, ada paran, yakni tempat bagi para muda-mudi untuk "bertandang" saling berkenalan di loteng rumah. Letak rumah juga harus menyamping arah matahari hingga jendelanya menjadi menghadap surya. Belum lagi tempat upacara adat yang tak pernah dipikirkan Pemerintah. Apalagi lokasi perumahan itu jauh pula dari ladang atau lahan tempat mereka mencari nafkah.
Pendekatan yang juga perlu digugat adalah keinginan Pemerintah yang hendak menjadikan kekayaan budaya suku pedalaman ini sebagai komoditi wisata. Maklum, festival kali ini pun adalah atas prakarsa Departemen Paspostel dan Pemda Riau. Dalihnya apa lagi jika bukan untuk meraih devisa. Terlebih-lebih dalam seminar telah pula disepakati, festival ini akan berlanjut lagi di Malaysia dua tahun yang akan datang.
Namun, tanpa disadari seperti halnya pada festival itu, pelbagai seni pertunjukan--sebagai ekspresi dari kebudayaan mereka--menjadi tampil palsu. "Saya tersiksa melihat pergelaran mereka," kata Rujito, seniman yang rajin mengemasi setting pelbagai pementasan teater di Jakarta itu, kepada TEMPO. Ia datang ke sana karena memang diundang Dewan Kesenian Riau.
Menurut Rujito, seni pertunjukan yang dilihatnya telah tercerabut dari akarnya. Karena memang istilah seni pertunjukan itu datang dari kalangan outsider. Padahal, sebagai insider, mereka tak menganggapnya sebagai seni melainkan adalah ekspresi kehidupan mereka sendiri. Tak heran jika pelbagai pertunjukan itu pun terkesan mengada-ada dan kehilangan konteks kebudayaan.
Jika toh dimaksudkan sebagai objek turis, mengapa wisatawan asing tak diboyong saja ke pusat-pusat kehidupan kebudayaan suku pedalaman tersebut? "Soal infrastruktur, ya, tugas Pemerintah dong yang membangunkannya," kata Rujito. Ia kian dongkol karena pelaksanaan festival ini mirip pasar malam bercitarasa "vulgar".
Festival ini berlangsung di Dang Merdu, sebuah pusat kesenian persis di sebelah kantor Gubernur Riau di Pekanbaru. Di situ ada tiga bangunan, yakni teater terbuka, teater arena, dan teater tertutup. Nah, di lokasi inilah pengunjung yang jumlahnya ribuan orang tumpah-ruah. Akibatnya, banyak pengunjung yang tidak bisa masuk ke teater arena atau teater tertutup. "Jika sudah masuk, juga payah keluarnya," kata Rujito.
Susunan upacara juga tidak punya ritme. Artinya, mana yang lebih didulukan dan mana pula yang dianggap pergelaran pamungkas. Tak terkecuali sound system di teater terbuka dan teater tertutup juga berdentam-dentum mirip di diskotek. Sebuah seminar juga dilakukan di kompleks gubernuran Riau yang berjarak satu kilometer dari Dang Merdu. Lucunya, seminar para pakar yang membicarakan suku pedalaman ini tak pula sempat menonton pergelaran yang justru diseminarkan itu.
Tak heran jika Ashley, yang kini tengah menyusun disertasi Belian, Sebuah Pengobatan Besar Suku Petalangan untuk gelar Ph.D.-nya di Monash University, menganggap festival ini bak pesta saja. "Artinya, tak mewakili kebudayaan pedalaman," katanya. Namun, toh pesta begini tetap ada gunanya. Paling tidak sebagai media bersifat politis yang bisa menggugah perhatian masyarakat agar terus peka terhadap eksistensi kebudayaan suku pedalaman di mana pun.
Jika kebudayaan pedalaman seumpama tanah, pengucapan kesenian mereka adalah pelbagai tanaman atau bebungaan. Jadi, menurut Ashley, agar kesenian mereka terus berkembang, seyogianya tanah dan hutan mereka juga harus diselamatkan. "Bagaimana mungkin bunga bisa tumbuh jika tanahnya tak lagi ada?" kata pria asal Victoria, Australia ini, bermetamofora. Tak berarti "orang luar" tak boleh memakai tanah mereka. Tetapi, bagaimana caranya?
Maka, Ashley pun kembali ke adat Bergitau, yakni semacam sikap kulo nuwun terhadap suku pedalaman yang mendiami tanah itu sejak nenek moyang mereka. Artinya, ada pengakuan terhadap tanah mereka seperti dulu dilakukan kerajaan Melayu Riau. Dengan kata lain, janganlah seperti perusahaan HPH, perkebunan negara dan swasta, dan bahkan juga proyek transmigrasi yang datang tanpa salam. Padahal, konon, semua outsider itu datang adalah untuk kesejahteraan rakyat. Jika--meminjam sajak W. S. Rendra--" ... mengapa niat baik dilakukan, tetapi banyak petani kehilangan tanahnya ..."?
Bersihar Lubis dan Irwan E. Siregar (Pekanbaru)
Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993
Komentar
Posting Komentar