Pasca-Modernisme-nya Kang Prasojo
BOB SUGENG HADIWINATA
SUATU ketika, persisnya dua pekan lalu, puluhan orang berduyun-duyun menuju sebuah gedung megah berlantai lima di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Mereka "menyambut" sebuah isme baru, pasca-modernisme, yang konon menggegerkan dunia perilmuan Barat karena pandangan radikalnya, dan yang kini telah datang ke Indonesia. Acara pun segera digelar. Beberapa orang diminta membuka dagangannya yang dikemas dalam berbagai rasa. Ada yang meraciknya dengan bumbu arsitektur, filsafat, ekonomi, dan sastra. Ada pula yang meramunya dengan bumbu gerakan feminisme, lingkungan hidup, dan bahkan agama.
Di tengah-tengah riuh-rendahnya diskusi, muncullah sebuah bisikan yang sangat menggelitik: "Pasca-modernisme itu merupakan praksis ataukah ia sekadar teori filsafat, atau bahkan kedua-duanya?" Kalau pasca-modernisme merupakan teori filsafat, di Indonesia ia dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tapi, sebagai sebuah praksis, isme itu rasanya bukan barang baru. Benarkah demikian?
Di Barat, pasca-modernisme tumbuh sebagai sebuah gerakan budaya radikal yang menentang segala atribut modernitas, terutama yang berkaitan dengan kapitalisme. Rupanya, banyak orang telanjur yakin, dunia modern adalah dunia yang terbentuk akibat beroperasinya sistem kapitalisme yang mengatur ekonomi umat manusia sedemikian rupa agar terjadi akumulasi kekayaan secara berkesinambungan. Keyakinan inilah yang ditolak pasca-modernisme: pengutamaan pengumpulan kekayaan telah membuat dunia makin dipenuhi rasialisme, diskriminasi, perusakan lingkungan, ketidakpedulian, kesenjangan kaya-miskin, dan sebagainya.
Tapi mengapa pemikiran filsafat, prinsip ekonomi, dan segala aspek yang berada pada konteks modernisme dianggap tidak mampu mengatasi krisis-krisis tersebut? Pasca-modernisme menganggap, dunia modern tak lebih sekadar sebuah "teater politik". Di panggung ini para pelakunya harus tunduk pada karakter-karakter yang dibuat oleh para pengatur laku seperti Hegel, Adam Smith, dan Max Weber. Di sini, pelaku seolah-olah tak punya pilihan lain kecuali mengikuti kemauan para penulis naskah itu. Wajarlah jika dunia modern dianggap sebagai dunia kesewenang-wenangan para penulis skenario itu tanpa memberikan kebebasan pada para aktor untuk menentukan karakternya sendiri.
Dengan pemikiran seperti ini pasca-modernisme mengajak kita untuk menutup "teater politik" dunia dengan cara mendengarkan naskah-naskah yang selama ini terabaikan. Dengan kata lain, pasca-modernisme mengajak kita untuk beramai-ramai melepaskan diri dari kesewenangan para pengatur laku.
Maka, bisikan di tengah-tengah riuh-rendahnya diskusi itu pun makin jelas terdengar: "Jangan-jangan sebagai sebuah praksis pasca-modernisme itu sebetulnya sudah ada di Jawa." Atau paling tidak tanpa harus melalui intellectual exercise berupa seminar dan diskusi bertele-tele, Kang Prasojo, seorang perajin perabot meja-kursi di Desa Njombor (dekat Klaten) sesungguhnya telah menjalankan budaya pasca-modernisme.
Sebagai seorang perajin, Kang Prasojo cukupo cekatan memainkan peralatannya. Dalam sekejap meja dan kursi sederhana (sekalipun tidak bakalan memenuhi standar YLKI) dibuatnya. Tidak itu saja. Distribusi dan marketing pun dia lakukan sendiri, bermodalkan sebuah pikulan dan beberapa batang rokok kawung. Begitu menyelesaikan produksinya, Kang Prasojo langsung berkeliling menjajakan komoditinya sampai habis. Biasanya pelanggannya sudah tetap, yaitu warung, kios, dan anak-anak kos di sekitar Yogya.
Tidak ada yang tahu persis sejak kapan dia memulai bisnis ini. Yang jelas dia mulai kegiatan ini sejak zaman Presiden Soekarno. Artinya, paling tidak ia sudah berdagang selama 30 tahunan. Kaum modernis yang mengetahui hal ini pasti terperanjat: "Bagaimana mungkin seseorang berdagang tanpa ekspansi produksi atau diversifikasi selama 30 tahunan?" Itulah Kang Prasojo.
Pernah suatu ketika seseorang (yang boleh dibilang mewakili pemikiran kapitalisme modern) bertanya, "Pernahkah selama ini Kang Prasojo berpikir tentang ekspansi bisnis dengan menyisihkan keuntungan untuk merekrut orang baru, meningkatkan produktivitas, dan kemudian spesialisasi kerja, terutama antara distribusi dan produksi?"
Jawaban Kang Prasojo tidak kalah mengejutkan, "Pernah, sih, pernah; tapi kalau produksinya banyak terpaksa saya pakai kendaraan atau orang lain untuk mengangkutnya. Kalau begitu, kan saya harus terus-terusan di rumah ngawasin orang-orang yang kerja. Itu akan membuat saya menderita karena kehilangan kontak langsung dengan para pelanggan tetap saya."
Mengingat hobi "lain" Kang Prasojo (ia termasuk pembeli setia SDSB), jawaban itu sesungguhnya mudah dipahami. Perjalanan kelilingnya ternyata sering diselingi dengan pembahasan "ramal-meramal buntut" yang seru antara dia dan para pelanggannya. Dalam acara itu agenda rutinnya dimulai dari pembahasan mimpi-mimpi yang bisa dinotasikan ke dalam angka-angka sampai pada penafsiran terhadap coretan-coretan stensilan "mbah dukun" yang bisa dibeli di pinggir-pinggir jalan atau didapatkan dari guntingan koran.
Maka, justru dalam hal itulah, dari sudut pasca-modernisme, Kang Prasojo dapat memperoleh pembenaran-pembenaran bagi semua kelakuannya. Dengan tidak melakukan ekspansi bisnis, berarti Kang Prasojo tidak mau mendengarkan Adam Smith, J. S. Mill, Schumpeter, atau yang lainnya. Dengan tetap percaya pada mimpi-mimpi dan omongan "mbah dukun" berarti dia mengabaikan Hegel dan tokoh-tokoh pencerahan lainnya yang mengutamakan rasionalitas dan sistemisasi. Dialah sesungguhnya figur pasca-modernisme kita.
Andai Kang Prasojo ikut dalam diskusi pasca-modernisme di Salatiga baru-baru ini, mungkin dia dapat menangkis berondongan omelan istri dan anak-anaknya dengan mengatakan, "Bu, Bu, ternyata begini-begini aku ini termasuk penganut pasca-modernisme yang di Barat dan di Satya Wacana sana lagi diributkan; sebetulnya mereka ketinggalan, to, kalau dibanding suamimu ini?" Kalau saja Kang Prasojo hadir, kita pun tidak perlu berbisik lagi bahwa pasca-modernisme sebetulnya sudah ada di sini, paling tidak diwakili oleh gaya hidup Kang Prasojo.
*) Penulis adalah dosen Universitas Parahyangan, Bandung, dan pemakalah dalam seminar pasca-modernisme di Salatiga
Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993
Komentar
Posting Komentar