Menyigi Profil Rentenir
Seorang pelepas uang, meski dianggap suka mencekik, toh mampu membangun citra cantik dirinya. Animo terhadap rentenir tumbuh karena birokrat cenderung meremehkan orang desa.
DUWIT kuwi kuwoso, kata pepatah Jawa. Uang itu berkuasa. Atau wong brewu mulyo uripe--orang kaya itu berpengaruh dan banyak sahabat, hidupnya mulia. Menurut Dr. Heru-Nugroho Soegiarto, 34 tahun, secara umum diakui uang tidak hanya berdimensi ekonomi, tapi juga punya faset sosial, budaya, dan politik.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu enam bulan, pada tahun 1990, meneliti perilaku 11 orang yang disebut "lintah darat" di Bantul--kota kecamatan 12 km di selatan Yogyakarta. Dicakup pula 185 nasabah, dan 71 responden yang ada kaitan kerja dengan lintah darat. Misalnya birokrat desa dan petugas keamanan. Sembilan dari 11 pelepas uang itu wanita.
Penelitiannya itu jadi disertasi: "The Embeddedness of Money, Moneylenders and Moneylending in a Javanese Town" yang membuahkan gelar doktor cum laude Ilmu Sosiologi di Universitas Bielefeld, Jerman, Mei 1993. Ini dipresentasikan lagi di Pusat Penelitian Kependudukan UGM Yogyakarta, 23 September lampau.
Proses pembangunan yang memperkenalkan sistem kapitalisme ke wilayah pedesaan, menurut Heru, membawa dua dampak: ekspansi ekonomi pasar dan merebaknya aktivitas pelepas uang (money lenders). Secara historis kegiatan mereka meluas karena ekspansi ekonomi pasar tak diimbangi lembaga keuangan memadai, hingga masyarakat kekurangan uang tunai.
Akibatnya, masyarakat haus uang. Ini peluang bagi pelepas uang--lazim dijuluki rentenir. Mereka meminjamkan uang dengan bunga mencekik, 20% sebulan. Bandingkan, 2,5% di bank pemerintah. Di Pasar Bantul, ia mencatat nasabah petani 77% memilih pinjam pada rentenir. Pedagang 78,6%, dan pekerja 60,5%. Pemerintah mencoba memeranginya, misalnya, dengan menyediakan kredit bunga rendah.
Aparat keamanan pun pernah menangkap para lintah darat di situ. Namun, mereka cukup licin mirip lintah betulan. Mereka tetap saja beroperasi dengan menyamar sebagai mindring alias pedagang barang kreditan. Mereka menyogok petugas pasar. "Sejak itu kami bebas lagi," kata para lintah darat itu. Lebih dari itu, wilayah operasinya pun meluas sampai di Kulonprogo dan pantai Samas, di selatan Bantul.
Animo pada rentenir tumbuh, menurut penelitian tadi, karena birokrat cenderung meremehkan orang desa, sedangkan urusan dengan rentenir mudah. Seperti dicatat Heru, ada kredit rolasan (12 hari), patlikuran (24 hari), telung puluhan (30 hari), sewidakan (60 hari), dan setahunan. Jumlah kredit Rp 20.000 hingga di atas Rp 100 juta. Kredit rolasan hingga sewidakan berbunga 20% per bulan.
Kredit setahunan bunganya 6-10% sebulan. "Mudah sulitnya dapat kredit tergantung kenal tidaknya seseorang dengan lintah darat, besar kecilnya kredit, dan lama tidaknya peminjaman," kata Heru.
"Kondisi sosial masyarakat dipahami benar oleh pelepas uang. Ini berbeda dengan perbankan pemerintah," ujar Heru. Contohnya: selain mempermudah proses kredit, jika si nasabah sakit, lintah darat ringan membantu. Kalau nasabah kematian, ia akan disumbang uang lebih banyak. Kalau ada yang tak bisa bayar uang, boleh dengan barang. "Ada yang bayar dengan tahu atau tempe dagangannya," tutur Heru. Untuk menghadapi nasabah yang tak mampu, pelepas uang tak memakai tukang pukul.
Di kampungnya, si rentenir menjalin keakraban dengan penguasa. Mereka menyumbang jika desa ada kegiatan. Ada pula rentenir yang pergi haji. Namun, sepulang dari Tanah Suci, ia tetap melanjutkan kerja haram tersebut.
Wak Haji ini, menurut Heru, punya rumus baru menghindari cap haji-rentenir. Kepada nasabah muslim yang taat, ia tak menawarkan uang, tapi barang. Bagi mereka yang sekuler ia tetap membiakkan uangnya. Ia aktif di pengajian dan ikut menyumbang. "Ia tetap dihormati lingkungan tanpa kehilangan pekerjaannya," cerita Heru.
Pendapatan bersih sebagai rentenir berkisar antara Rp 225.000 dan Rp 1 juta tiap bulan. Lumayan untuk ukuran desa. Tak heran jika banyak yang berminat. Namun, untuk sampai pada tingkat lintah darat, menurut Heru, dari 11 yang ditelitinya, 9 belajar minimal 3-4 tahun. Pada mulanya mereka pedagang biasa.
Di Pasar Bantul itu juga mereka magang. Kalau kelak jadi, mereka tetap bergaya seperti pedagang. Untuk kredit besar, mereka minta agunan sertifikat tanah atau rumah. Bisa juga sistem bagi hasil jika untuk usaha. Kalau rugi, utangnya tetap, tapi tanpa bunga. "Cara pinjam seperti ini tentu sulit didapatkan dari perbankan," komentar Heru, seperti dilaporkan Moch. Faried Cahyono dari Tempo.
Mereka punya persatuan dengan aturan khusus: sesama rentenir dilarang saling mencekik. Bunga di kalangan mereka 10% sebulan. Dari 11 rentenir tadi, dua amat kuat, yang dijuluki juragane rentenir. Mereka bersaudara. Jika ada transaksi besar dan stok habis, dipinjam dari bank.
Responden di kalangan nasabah terdiri dari kelompok menengah atas (pengusaha dan pedagang besar). "Untuk kelompok ini, tak layak seorang pelepas uang disebut lintah darat karena berjasa dalam usaha nasabah," ujar Heru. Dari hasil penelitiannya, Heru-Nugroho mempertanyakan, apakah kaum pelepas uang tadi lintah darat atau agen pembangunan.
Ed Zoelverdi
Sumber: Tempo, No. 31 Tahun XXIII - 2 Oktober 1993
Komentar
Posting Komentar