Pekarangan untuk Ketahanan Pangan

SECARA global, daya beli yang semakin lemah jelas akan memengaruhi ketahanan pangan. Oleh karena itu, berbagai langkah pun dilakukan oleh pemerintah untuk mempertahankan ketersediaan dan akses masyarakat terhadap bahan pangan, di antaranya pemanfaatan pekarangan untuk budi daya tanaman pangan.

Salah satu yang menggagas hal tersebut adalah Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kabupaten Bandung. Sejak beberapa tahun lalu, instansi tersebut sudah menularkan penanaman berbagai jenis tanaman pangan dengan media polybag. Tidak hanya sayuran dan buah-buahan, tanaman padi yang menjadi makanan pokok masyarakat tanah Jawa pun mulai dibudidayakan dalam media tersebut.

Kepala Distanbunhut Kabupaten Bandung Tisna Umaran mengatakan, saat ini pihaknya sudah memelopori pembudidayaan hampir seluruh jenis tanaman pangan dalam polybag di pekarangan. "Kami contohkan lebih dulu di pekarangan kantor Distanbunhut dan kemudian menyebar ke kantor pekarangan dinas lain di lingkungan Pemkab Bandung," katanya saat dihubungi, Selasa (16/6/2015).

Menurut Tisna, ada beberapa jenis komoditas utama yang kini sudah berhasil dikembangkan dalam polybag. Setelah sukses dengan tanaman padi, kini aneka jenis sayuran dataran rendah, termasuk cabai merah dan cabai rawit, juga sudah ditanam dalam polybag di pekarangan kantor Distanbunhut. Sementara itu, untuk tanaman buah-buahan, kini sedang digalakkan budi daya jambu batu kristal dan jambu air.

Tisna mengakui, budi daya di pekarangan memang lebih efektif jika menggunakan sistem hidrofonik. Namun, sistem itu kurang efisien jika diterapkan di rumah tangga yang notabene memiliki kesibukan cukup tinggi. Dengan polybag, budi daya tanaman di pekarangan akan lebih mudah dan lebih murah.

Saat itu, kata Tisna, seluruh pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Distanbunhut Kabupaten Bandung sudah menerapkan budi daya tanaman pangan di pekarangan rumah mereka masing-masing. Meskipun belum terdata secara pasti jumlahnya, PNS lain di Pemkab Bandung juga sudah menerapkan hal serupa. "Minimalnya yang saya tahu persis, 93 orang rumah tangga para PNS Distanbunhut Kabupaten Bandung sudah memanfaatkan pekarangan mereka untuk budi daya tanaman pangan," ujarnya.

Dengan begitu, para PNS di lingkungan Distanbunhut Kabupaten Bandung saat ini sudah tidak terpengaruh dengan fluktuasi harga sayuran di pasar. Untuk komoditas cabai rawit misalnya, mereka sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dari pekarangan dan tidak perlu membeli. Sekalipun di pasar harga cabai rawit meroket hingga lebih dari Rp 20.000 per kilogram, mereka tidak lagi terpengaruh dan tetap bisa menikmati pedasnya cabai rawit tanpa merasakan "pedasnya" harga yang tinggi.

Hal itu juga menjadi salah satu perhatian Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) Provinsi Jawa Barat. Instansi tersebut kini tengah merintis program Penanggulangan Kemiskinan Melalui Optimalisasi Lahan Pekarangan. Hal itu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang Daerah (RPJMPD) Jawa Barat 2016-2018. Terlebih dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011, di Jawa Basrat masih ada sekitar 813 desa dengan jumlah rumah tangga miskin yang tinggi.

Program tersebut memberdayakan masyarakat melalui optimalisasi lahan pekarangan untuk kebun bibit desa, budi daya ikan lele, budi daya burung puyuh, dan berbagai kegiatan produktif lain. Pada 2015, ada 12 desa yang menjadi lokasi rintisan, tetapi sebelumnya pada 2012 juga sudah ada rintisan sebanyak 3 desa, 2013 6 desa, dan 2014 6 desa.

Kepala BPKD Jawa Barat Dewi Sartika mengatakan, program tersebut pada intinya bertujuan menangani kemiskinan di desa dengan memanfaatkan pekarangan mereka sebagai sumber pasokan pangan dan asupan gizi beragam bagi rumah tangga itu sendiri. Rumah tangga pun dipacu memproduksi benih dan pupuk organik untuk produksi pangan di desanya masing-masing. Dengan demikian, diharapkan masyarakat pun bisa meraup pendapatan tersendiri untuk menunjang kehidupan mereka. (Handri Handriansyah-/"PR")***





"Zero Waste" Ala Sonson

BERBICARA ketahanan pangan skala rumah tangga, Sonson Garsoni (55) adalah salah seorang yang terbilang sukses mempraktikkannya. Tidak hanya mampu memenuhi bahan makanan pokok, sayuran, dan lauk, praktisi lingkungan asal Kabupaten Bandung ini juga mampu memproduksi sendiri biogas yang digunakan untuk kebutuhan masak sehari-hari di rumahnya.

Berawal dari keprihatinannya terhadap masalah kebersihan lingkungan, Sonson berinovasi menciptakan biodigester yang mampu mengolah sampah menjadi biogas. Alat biodigester ciptaannya itu ternyata menghasilkan residu yang justru sangat baik untuk digunakan sebagai media hidup ikan dan tanaman akuatik. Bahkan sisa airnya bisa digunakan untuk budi daya tanaman padi dalam polybag sehingga pada akhirnya sama sekali tidak ada limbah yang tersisa (zero waste).

Menurut Sonson, biodigester skala rumah tangga ciptaannya memiliki kapasitas terkecil 1.000 liter. Dengan bahan baku yang baru, alat tersebut memang membutuhkan biaya produksi hingga Rp 15 juta. "Namun, kalau dibuat dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang ada di sekitar rumah, biasanya bisa dipangkas lebih dari setengahnya," ujar Sonson saat ditemui, Selasa (16/6/2015).

Biodigester sebesar itu, kata Sonson, bisa mengolah 25 kilogram sampah organik dan menghasilkan 1 meter kubik biogas setiap hari. Jumlah tersebut setara dengan 0,5 kilogram gas elpiji yang cukup untuk kebutuhan rumah tangga dalam sehari. Dengan harga gas elpiji 3 kilogram sekitar Rp 21.000 per tabung saat ini, satu rumah tangga bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 3.500 per hari atau Rp 105.000 per bulan.

Selain itu, biodigester juga menghasilkan lumpur organik yang mengandung senyawa penting untuk media tumbuh berbagai jenis ikan. "Dari lumpur yang dihasilkan setiap hari, selama tiga bulan akan menghasilkan 200 ikan siap konsumsi," ujar Sonson. (Handri Handriansyah-/"PR")***



Sumber: Pikiran Rakyat, 17 Juni 2015

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...