AIR HUJAN RASA URBAN
OLEH MAWAR KUSUMA & REGINA RUKMORINI
Karena keadaan yang memaksa, warga desa sejak dulu terbiasa mengonsumsi air hujan. Tetapi belakangan para peminum air hujan meluas sampai ke kota seperti Jakarta. Masyarakat urban memperlakukan air jatuhan langit itu sebagai bagian dari gaya hidup sehat.
Dari mulut ke mulut, konsumen air hujan yang disetrum menyebar ke sejumlah daerah, seperti Muntilan, Jawa Tengah; DI Yogyakarta; hingga luar Jawa, seperti Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Salah satu yang jatuh cinta pada air hujan terelektrolisis buatan sendiri di Jakarta adalah putri mantan presiden Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid.
"Saya sampai kaget karena ibu saya berpesan, jangan lupa habis shalat baca alhamdulillah banyak-banyak. Dikasih jalan lewat air hujan, insya Allah bisa sembuh, harus banyak bersyukur. Padahal, saya pikir ibu saya enggak peduli hal-hal kayak gini. Ibarat doa yang kejawab," kata Inayah tentang konsumsi air hujan terionisasi itu.
Awalnya, Inayah mendengar kisah tentang air setrum ketika datang ke Yogyakarta dan menjadi pembicara di acara Tribute to Gus Dur yang diselenggarakan budayawan Sindhunata. Pria yang bertugas mengawal Inayah keliling Yogyakarta lantas cerita tentang air setrum yang bermanfaat bagi kesehatan. "Saya sebenarnya fokus ke penyakit, tapi dapat bonus turun berat badan hingga lima kilogram," ujarnya.
Selama dua bulan minum air hujan yang dielektrolisis, penyakit asam lambungnya tak lagi kambuh, buang air besar menjadi lancar, dan tubuh terasa lebih bugar. Beberapa sahabat di kelas meditasinya pun turut mengonsumsi air hujan. Bahkan, ada yang terpaksa mengambil air hujan dari tampungan hujan di atap apartemen karena tak punya cara untuk menampung sendiri.
Jika dulu tak pernah peduli pada air hujan, kini Inayah selalu sibuk menampung air hujan dengan ember. Pernah suatu kali, hujan deras turun ketika ia sedang dalam perjalanan. Inayah kemudian panik menelepon asisten rumah tangganya untuk menampung air hujan di wadah ember. "Sampai di rumah, mana air hujannya? Dijawab, enggak ada yang bocor, Mbak. Pengertiannya nampung air bocor. Memahami air hujan bukan seberharga untuk minum," kata Inayah.
Inayah memperoleh bekal pengetahuan elektrolisis dari pelatihan yang digelar oleh rohaniwan V Kirdjito Pr di Muntilan, Jawa Tengah. Pelatihan gratis yang diselenggarakan setiap satu pekan sekali itu terbukti sangat diminati masyarakat dari beragam daerah. Intinya, mereka harus belajar meneliti dan memproduksi air minum sendiri.
Di rumahnya di Ciganjur, Jakarta Selatan, Inayah terus melakukan percobaan terkait konsumsi air hujan. Beberapa kali percobaannya gagal karena air hujan campur air galon hasil elektrolisisnya berbau mirip Betadine. "Ternyata yang salah di dispensernya. Sekarang sudah bisa menciptakan air kualitas oke. Jadi, enggak ada racun dalam tubuh," ujarnya.
Lintas pulau
Air hujan dari langit Bekasi juga membawa berkah tersendiri bagi pasangan Emmelia Indiyati (40) dan FX Wakijo (44). Baru mulai mengonsumsi air setrum sejak Januari lalu, Emmelia merasa hidupnya lebih berkualitas, bugar, dan tidak gampang lelah. Keringat serta kotoran juga tak lagi berbau menyengat. "Suami sempat sakit kulit di kaki, kok jadi halus, padahal bertahun-tahun enggak sembuh," kata Emmelia.
Dari awalnya konsumsi pribadi, tetangga dan rekan kantor turut berguru produksi air hujan terionisasi ke rumahnya di Margahayu, Bekasi Timur. Dari mulut ke mulut, mereka datang dari Depok, Jakarta, dan Tangerang. Karena tidak memperjualbelikan air, beberapa orang yang datang ke rumah akhirnya memberi "imbalan" berupa botol-botol berisi air hujan.
"Mereka yang keluar masuk rumah untuk belajar dan minta air sudah ada 50 orang. Harus lihat proses dan belajar. Ini bukan obat, tapi air berkualitas," kata Emmelia.
Tak hanya di Pulau Jawa, konsumen air setrum pun menyebar ke beberapa daerah di Papua, Kalimantan, dan Sumatera. Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Ujianto (59) dan keluarganya turut merasakan manfaat air setrum sejak setahun terakhir. Pundaknya kini terbebas dari rasa ngilu jika terlalu lama berada di daerah dingin.
Kegairahan belajar tentang proses elektrolisis tampak di laboratorium Kirdjito di Muntilan. Beberapa pekan lalu, Kirdjito menggelar diskusi dengan beberapa konsumen air hujan, seperti Oyong Seputro (58), Sigit (59), Yohanes Sudarlis (48), Wawan Pratiknyo (55), Angela Chandra Dwita (50), dan Anna Wagimin (72). Masing-masing dari mereka baru pertama kali mengonsumsi air hujan setelah ikut pelatihan dan langsung kecanduan.
Angela Chandra Dwita (50) dan suami FX Tri Djalmo Hadi Putranto (55) juga mengisi setiap celah ruang di rumahnya di Muntilan dengan puluhan botol berisi air hujan. Sekalipun tidak tinggal di daerah krisis air, botol-botol air hujan tersebut ibarat harta karun bagi mereka.
Setelah sebelumnya menghabiskan puluhan juta rupiah guna pengobatan medis dan pengobatan alternatif untuk penyakit diabetes, Tri kini sudah sembuh. "Sekarang, setelah kesehatan saya membaik, semua obat-obatan dan peralatan medis yang dipakai untuk penyembuhan penyakit saya biarkan menganggur di rumah," ujarnya.
Teknik elektrolisis
Awalnya, Kirdjito yang aktif menyelamatkan sumber-sumber mata air sejak berkarya di lereng Merapi hanya bereksperimen dengan air hujan setelah berdiskusi dengan rekannya Joko Sutrisno tentang proses elektrolisis. Selanjutnya, Kirdjito menggelar diskusi tentang air di Kecamatan Kebonarum, Klaten, yang diikuti umat lintas agama, termasuk dari pondok pesantren yang diasuh Kiai Haji Jazuli Kasmani (Gus Jaz) sejak Maret 2013.
Diskusi serupa kemudian juga digelar di Imogiri, Sleman, dan Prambanan. Pada Maret 2014, Kirdjito pindah tugas ke Muntilan dan selama lima tahun ke depan terbebas dari tugas gerejawi. Ia mendapat izin lewat SK dari uskup untuk menjalani tugas eksplorasi, kreasi, dan integrasi berbasis budaya air dan cahaya.
Air hujan dipilih sebagai bahan baku utama karena memiliki kandungan mineral atau total dissolved solid (TDS) yang rendah. Kandungan TDS rendah tidak disukai bakteri dan diharapkan bisa terhindar dari bahan berbahaya seperti logam berat. Ancaman kekurangan mineral akibat rendahnya TDS air hujan, menurut Kirdjito, bisa disiasati dengan mengonsumsi makanan kaya mineral.
Dengan teknik sederhana, masyarakat diajak belajar "mengionisasi" dengan ilmu elektrolisis. Menggunakan dua bejana berhubungan buatan sendiri, arus listrik searah atau DC dialirkan ke konduktor stainless foodgrade. Selanjutnya, molekul air terurai menjadi ion bermuatan negatif yang bersifat basa dan ion bermuatan positif yang bersifat asam. "Air hujan ini inspirasi bahwa yang masuk ke tubuh seharusnya yang murni supaya kerja tubuh tidak berat. Kalau berat, tubuh protes," kata Kirdjito yang menerima Maarif Award 2010 itu.
Meski mempromosikan air hujan, sebagian orang memilih memakai bahan baku air dari sumur, PDAM, ataupun air galon. Dengan TDS lebih tinggi dari air hujan, mineral dalam air tanah ataupun mata air tersebut bisa lebih mudah menghantarkan listrik dalam proses elektrolisis sehingga cepat membentuk air bersifat basa.
I Gede Wenten, ahli membran dan kimia air dari Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan bahwa listrik dalam proses elektrolisis mampu mengubah keadaan dari netral menjadi basa. Air bersifat basa karena ada gas hidrogen yang terlepas. Senyawa monovalen seperti kalium dan natrium yang biasanya tidak mengendap dalam proses elektrolisis juga membentuk kebasaan air jadi tinggi. Tidak ada penambahan mineral, hanya terjadi perubahan sifat air dari asam atau normal jadi basa.
Untuk air tanah di daerah berkapur, teknik elektrolisis bisa mengendapkan kandungan mineral kalsium dan magnesium tinggi. Elektrolisis juga bisa mereduksi logam berat tinggi. "Elektrolisis menjadi salah satu cara untuk mengurangi kadar logam berat dan mineral berlebih seperti kalsium dan magnesium. Tapi, mineral air hujan sudah rendah sehingga cenderung sulit mengangkat Ph airnya," ujar Wenten.
Di alam, air sungai pun bisa bersifat basa karena penambahan mineral ketika mengalir sembari melarutkan batuan. "Air paling bagus adalah yang netral. Perlu kajian ilmiah karena menyangkut masyarakat dan kesehatan. Sangat esensial. Harus didudukkan persoalan secara ilmiah," kata Wenten.
"Kami ingin membudayakan kemandirian masyarakat dengan air yang berkualitas. Kami tidak di tahap benar salah atau melawan, tapi saling melengkapi. Bukan melawan, tapi supaya masyarakat punya pilihan nalar dengan bukti dan teliti," ujar Kirdjito.
Sumber: Kompas, 7 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar