Siti Rahmah: Berbekal Optimisme dan Semangat Membara
BERKUNJUNG ke Makassar, boleh jadi akan membuat Anda lebih dari sekadar berwisata. Tak hanya suguhan panorama, perempuan Bugis bernama Siti Rahmah akan mengoleh-olehi Anda dengan pengalaman dan ilmu yang pastinya bermanfaat. Siapakah Siti Rahmah?
Bertempat di Istana Merdeka Jakarta, perempuan berkerudung itu menerima penghargaan nasional Adhikarya Pangan Nusantara. Dia dan kelompok taninya, Pita Aksi, dikategorikan sebagai pelaku pembangunan ketahanan pangan.
Bertemu dengan presiden memang diimpikan lulusan sekolah menengah atas itu. Seseorang dari desa tetangga yang mendapat penghargaan Presiden RI melecut impiannya itu beberapa tahun lalu. Kalau tetangganya itu sukses dalam budi daya jeruk, Rahmah saat itu tak tahu apa yang akan mengantarkannya kepada presiden.
Kesehariannya hanya membantu sang suami, Muhamad Arif Sore, di tambak bandeng. Kegiatan lainnya yang produktif barangkali berkebun. Akan tetapi, itu pun seperti kebanyakan ibu-ibu yang menanam cabai, tomat, atau seledri di pot dan pekarangan seadanya. "Sebenarnya tidak hobi," ujar perempuan berusia 43 tahun itu.
Sampai akhirnya, sekalipun bukan hobi, Rahmah penasaran ketika sekolah lapangan tentang pertanian organik diperkenalkan pada 2010. Salah satu insiatornya adalah Oxfam, konfederasi 17 organisasi yang bekerja di 94 negara di dunia untuk menghapuskan kemiskinan. Sekolah lapangan itu berada di bawah program besar Restorasi Penghidupan Pesisir atau Restoring Coastal Livelihood.
Kesadaran berkebun Rahmah mulai bergeser. Berkebun tidak lagi ala kadarnya. Berkebun dijadikannya mata pencaharian yang sekaligus mengurangi belanja keluarga. Jika dalam sehari dia membeli sayur Rp 5.000 atau Rp 150.000 dalam sebulan, dia bisa menabungnya.
Berkebun organik tidak memakan biaya pupuk dan pestisida. Semua memberdayakan bahan alami seperti kotoran kambing, kotoran sapi, buah-buahan busuk, dan tanaman obat keluarga seperti kunyit.
Namun, tantangan Rahmah tak mudah ditaklukkan. Berjarak sekitar satu kilometer dari pesisir laut, areal tanamannya bersalinitas (kandungan garam) tinggi. Ditambah gempuran bahan-bahan kimiawi selama ini, Rahmah harus ekstratelaten mengolah tanah dan sabar jika lagi-lagi belum berhasil.
Keseriusan Rahmah membuahkan hasil manis setelah beberapa bulan bergelut dengan kegagalan. Pola organik yang berorientasi kepada keberlanjutan alam perlahan membuat kesuburan tanah di pekarangannya seluas 10 meter x 10 meter mulai pulih.
Rahmah merasa perlu membagi sedikit keberhasilannya kepada sesamanya. Pemberdayaan perempuan Bugis di sana selama ini kurang optimal. Mereka lebih banyak bekerja membuat jaring tangkap dan mengikat rumput laut. Setiap minggu, mereka dibayar Rp 8.000 per jaring dan Rp 2.500 per bentang rumput laut. Pendapatan mereka paling tinggi Rp 20.000 per minggu.
Diragukan
Namun, niat baik memang tak selalu mulus terlaksana. Ajakan Rahmah diragukan. Bahkan, beberapa suami melarang secara terang-terangan kepada Rahmah. "Jangan ajak ibu-ibu di sini," kata Rahmah menirukan larangan itu.
Rahmah saat itu belum terbukti sukses. Itu baru sebatas optimisme yang terus berkobar di hatinya. Bersambut dengan semangatnya yang tinggi dan membara, Rahmah tak putus harapan. Tak berselang lama, Rahmah membuktikan bahwa dia bisa menjadi produsen sayuran yang tetap menguntungkan lingkungan.
Desa tetangga sampai-sampai mengandalkan sayurannya seperti sawi, terong, dan kangkung. Alasannya, kualitas sayurannya dinilai lebih baik dan tentu saja tak perlu jauh-jauh ke pasar. Sayurannya juga pernah lolos masuk ke swalayan setempat meskipun sekarang Rahmah menghentikannya.
Bukan karena produksinya sempoyongan menghadapi permintaan tinggi seperti hambatan kebanyakan petani, justru Rahmah keberatan karena permintaan swalayan terlalu sedikit sehingga kurang menguntungkan dari ongkos transportasi.
Kesuksesan Rahmah akhirnya membukakan mata perempuan Bugis di sana. Tak sulit lagi bagi Rahmah menggerakkan mereka yang semula meragukannya. Bersama 25 orang, ibu dua anak itu membentuk kelompok tani yang dinamai Pita Aksi, kepanjangan dari Pitusunggu Berdedikasi dan Beraksi.
"Bapak-bapak yang tadi melarang saya malah ikut bertani organik," ujar Rahmah sambil tertawa. Digerakkan oleh Arif yang tak lain suami Rahmah, mereka menggarap lahan tidur yang sebagian sebelumnya mereka ubah menjadi empang. Penanaman padi secara organik di lahan asin perlahan juga berhasil. Sejak dua tahun lalu, mereka mulai panen dua kali dalam setahun di lahan seluas 8 hektare. Cadangan beras melimpah.
Belakangan, Rahmah dan Arif berhasil menjadi pemulia benih baik sayuran maupun padi. Itu artinya mengurangi ketergantungan dalam pengadaan pangan sekaligus menghemat lebih besar. Keluarga Rahmah tak perlu lagi menggadaikan empang bandengnya ke tetangga untuk mendapatkan dana pendidikan anak. Dua tahun terakhir, Rp 15 juta menumpuk di tabungannya hanya dari berkebun.
Semangat Pita Aksi pun ditularkan hingga ke Desa Pitue, tetangga Desa Pitusunggu. Pita Aksi membentuk kelompok binaan dengan 25 anggota yang dinamai Mutiara Desa. "Saya ingin orang lain juga sukses dan mendapat penghargaan dari presiden," tutur Rahmah bercita-cita. ***
Biodata
Nama : Siti Rahmah
Tempat lahir : Desa Pitusunggu, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan
Tanggal lahir: 4 Januari 1972
Pendidikan : MAN Aliyah Ma'ran Pangkep
Profesi : Petani
Penghargaan : Adhikarya Pangan Nusantara 2014
Suami : Muhamad Arif Sore
Anak : Khairunnisa (23) dan Raihan (14)
Sumber: Pikiran Rakyat, 29 Maret 2015
Komentar
Posting Komentar