CERITA PARA PEJUANG LINGKUNGAN: Gerakan Hijau Tak Hanya Semboyan
Lewat lingkungan terkecil, mereka berjuang mengelola lingkungan menjadi lebih baik. Hasil manis pun berhasil dipetik. Tempat tinggal mereka pun jadi lebih hijau dan segar.
RITA PUNTO
Bidik Anak-anak
Tiga tahun lalu, Rita Punto (39) merintis Wahana Hijau Hayati (WHH) di tempat tinggalnya di sebuah kampung di Jatisari, Bekasi. "Saya pikir gerakan go green bisa dimulai di lingkungan terkecil, yaitu tempat saya tinggal," kisah Rita.
Pertama kali tinggal di Jatisari, lingkungan rumahnya kurang begitu sehat. Masyarakat sekitar yang memiliki ternak seperti kambing dan sapi, membiarkan begitu saja kotoran ternaknya. "Buang limbah ternak sembarangan saja. Bisa di bawah pohon pisang dan jalanan. Kalau turun hujan, baunya ke mana-mana."
Pelan-pelan Rita mengundang bapak-bapak. "Di sini ada organisasi Forum Betawi Rempug. Saya bersilaturahmi dengan mereka. Saya ajari mereka mengolah limbah ternak jadi kompos," tutur Rita yang memulai gerakan hijau sejak awal 2008.
Kelola Limbah
Perlahan tapi pasti, muncul kesadaran masyarakat untuk mengolah kotoran ternak. Ada beberapa yang membuat kompos setengah jadi. Limbah ternak itu dikumpulkan dan dimasukkan dalam karung. Selanjutnya, ada pengepul yang secara berkala mengambilnya untuk bahan pupuk. "Sekarang, lingkungan di sini sudah tidak bau lagi."
Persoalan lingkungan lainnya, ketika itu masyarakat terbiasa membakar sampah. "Buat mereka, membakar sampah adalah cara yang murah dan efektif. Semacam tradisi. Mengelola sampah, buat mereka buang waktu."
Rita sadar, tak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berlangsung lama. "Takut terjadi penolakan. Saya kampanye penyadaran ke masyarakat lewat ngobrol-ngobrol. Bentuknya lebih ke motivasi," papar wanita yang pernah terpilih sebagai salah satu Perempuan Inspiratif NOVA.
Meski tak 100 persen berhasil, "Sekarang masyarakat sudah terbiasa memilah sampah. Sampah non organik diambil pemulung, yang organik dibuat kompos. Ada sih, yang masih membakar sampah, tapi sudah tidak banyak," paparnya.
Untuk misinya ini, Rita mendekatkan diri ke seluruh lapisan masyarakat. "Semuanya berjalan lancar. Kebiasaan masyarakat menjaga lingkungan sudah tumbuh. Bahkan, beberapa waktu lalu mereka mulai membuat biopori di rumah masing-masing. Mereka bisa meminjam alat pembuat biopori dari saya," kata Rita.
Namun anak-anak, menurut Rita, jadi obyek paling potensial. Apalagi, anak-anak warga sekitar rutin datang ke rumahnya untuk belajar Bahasa Inggris secara gratis. "Di sini, kan, ada dua jenis tempat sampah. Ketika sedang ada di rumah saya, anak-anak itu sudah tahu memilah sampah. Misalnya sampah plastik dibuang ke tempat sampah kaleng, sedangkan sisa gorengan ke tempat sampah warna pink. Saya harap, kebiasaan memilah sampah berlanjut ke rumah masing-masing."
Di rumahnya yang seluas 500 meter persegi, Rita juga membuat lubang-lubang biopori. Anak-anak pun secara tidak langsung melihat manfaat biopori. "Buat saya, kebiasaan hidup go green ini penting buat anak-anak," papar Rita yang punya toko bahan kue, tak jauh dari rumahnya.
Rita pun punya tips buat para ibu, "Bijaksanalah mengelola sampah. Ekonomi kita akan terbaca dari sampah yang kita hasilkan. Intinya, jangan membagi sampah ke tetangga." Rita pun terus menjalankan prinsip, "Melakukan kegiatan hijau tak hanya semboyan atau latah. Tapi, bisa ditularkan ke lingkungan sekitar."
N HENRY ISMONO
FOTO-FOTO: HENRY, DOK. PRI
JAKARTA BERKEBUN
Gerakan Hijau di Lahan Kota
Ide berkebun di lahan perkotaan timbul pada akhir 2010 lalu. Tepatnya saat penggagas Indonesia Berkebun (IB), Ridwan Kamil, mengajak siapa saja yang tertarik melakukan kegiatan urban farming (pertanian perkotaan). Kegiatan positif ini bertujuan memanfaatkan lahan mati suri di Jakarta, yaitu lahan kosong yang terbengkalai dan tak terawat.
Ajakan Ridwan ternyata mendapat respons dari sekumpulan orang. Pada 20 Februari lalu, terbentuk komunitas Jakarta Berkebun (JB). Selain Jakarta, kota-kota lain seperti Bogor, Bandung, Semarang, dan Surabaya juga membentuk komunitas serupa di bawah IB. Apresiasi luar biasa berdatangan. Banyak pegiat berkebun memberi informasi cara berkebun yang benar, tips dan konsultasi tentang tanaman via Twitter.
Karena butuh aksi nyata, akhirnya diperoleh lahan pinjaman seluas 10.800 m2 dari developer yang dikenal Ridwan. Lahan yang berlokasi di Springhill, Kemayoran, Jakarta Barat itu pun dijadikan pilot project.
Milly (26) dan Shafiq (33), pasangan suami istri pegiat JB menuturkan, saat tiba di lokasi, kondisinya jauh dari bayangan. "Saat kami coba bertanam, kondisi tanahnya kurang bagus karena banyak bebatuan. Padahal sudah menyiapkan 'peralatan tempur', seperti sarung tangan, sepatu boot, linggis, cangkul, pupuk, dan bibit tanaman."
Karena minim pengalaman, tanaman kangkung yang ditanam pertama mati dan tanaman lainnya tidak tumbuh. "Akhirnya, kami dibantu cara bertanam oleh kuli-kuli bangunan yang tinggal di sekitar Springhill. Ternyata mereka sudah lebih dulu memanfaatkan lahan kosong di sekitar bedeng dengan menanam sawi untuk makan sehari-hari."
Gaya Hidup
Pegiat JB saat ini terentang dari anak kecil hingga orang tua. Mayoritas adalah pekerja kantoran yang tertarik dengan kegiatan berkebun yang dianggap 'baru'. Harga cabai yang sempat melonjak drastis beberapa waktu lalu juga menjadi pemikiran mereka. "Indonesia itu tanahnya sangat subur dan bisa ditanami apa saja. Tapi, kenapa cabai bisa langka, ya? Takutnya suatu saat terjadi krisis pangan," ujar Milly.
Banyak anak kecil yang saat ini juga tak mengetahui perbedaan tomat dan kentang, karena kebanyakan dari mereka hanya tahu makanan yang telah diolah tanpa pernah melihat wujud aslinya.
Oleh karena sebagian besar pegiat berkebun bekerja kantoran, mereka hanya bisa menengok lahan kebunnya di akhir pekan. Setiap minggu sore, sebanyak 5-20 orang rutin datang ke Springhill. Lalu, bagaimana jika menemukan cacing atau hama saat berkebun? "Dulu, sih, merasa takut dan geli lihat cacing dan kodok. Tapi, sekarang malah senang kalau ketemu binatang atau hama. Artinya, apa yang kami lakukan menghasilkan ekosistem baru bagi makhluk hidup lain."
Kegembiraan makin memuncak pada acara panen raya JB yang berlangsung 10 April lalu. Acara ini didatangi sekitar 100 orang yang terdiri dari anak muda hingga keluarga. "Seru sekali. Apalagi saat memanen mereka bisa bawa pulang kangkung," ujar Shafiq senang. Selain kangkung, saat ini mereka sedang berkebun tomat, cabai, dan singkong.
Apa kegiatan ini sifatnya sementara? "Kami sih, inginnya tidak sesaat, ya. Memang butuh waktu untuk meningkatkan kesadaran. Coba saja, deh. Kalau sudah ada tanaman yang berhasil tumbuh, pasti senang sekali rasanya."
N ADE RYANI
FOTO-FOTO: DOK. PRI, ADE RYANI
KELURAHAN GUNDIH SURABAYA
Ubah Preman Jadi Pejuang Lingkungan
Memasuki Jl. Margorukun VII, Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan Surabaya, suasana asri langsung menyeruak. Tak ada sampah yang tercecer. Padahal, kampung itu bukanlah kawasan mewah yang warganya berekonomi cukup. Kawasan padat penduduk yang berdekatan dengan Stasiun Pasar Turi itu mayoritas penghuninya justru tergolong kelas menengah ke bawah.
Dulu, kampung ini dikenal dengan sebutan 'kawasan merah', yang artinya kampung preman. "Dulunya memang kumuh, jorok, dan gersang. Terkenal sebagai tempatnya preman dari segala kejahatan di Surabaya," kata Mohamad Fauzan (37) sang pelopor lingkungan di kawasan ini.
Sebagai warga yang sudah tinggal lama di tempat itu, tentu Fauzan merasa prihatin. Tahun 2007, ia mengikuti program Merdeka Dari Sampah (MDS) yang diadakan oleh kelurahan setempat. Fauzan lantas tergerak untuk menghijaukan wilayahnya. Demi mendekati warga, ia rela begadang setiap malam. "Kalau main paksa, saya yakin tidak akan bisa," kata bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja sebagai penjual daging segar.
Fauzan yang ketika itu menjabat sebagai wakil ketua RT setempat, lalu mencari akal untuk bisa mengubah pola hidup warganya jadi lebih baik. Ia membentuk pengurus kampung sebanyak mungkin. Satu RT dibagi lagi jadi beberapa seksi, yang jumlah anggotanya sekitar 30 orang. "Kepada para seksi inilah saya memberi pengertian betapa pentingnya membuat kampung jadi bersih dan hijau."
Kepada para pengurus kampung ini, Fauzan meminta agar masing-masing rumah diberi hiasan pot bunga di depan rumah masing-masing. Setelah berhasil menghijaukan rumah pengurus, Fauzan melebarkan sayap. Ia menunjuk fasilitator bersih lingkungan yang sebagian besar adalah ibu-ibu. Fasilitator yangs udah diberi pemahaman kebersihan lingkungan ini lalu secara intens menularkannya lagi ke para tetangga.
Salah satu programnya saat itu adalah pengolahan sampah pribadi. "Saya butuh waktu sekitar enam bulan untuk membebaskan kampung dari sampah," kata Fauzan. Berkat gerakannya ini, kampungnya keluar sebagai juara pertama kampung yang merdeka dari sampah.
Preman Insaf
Melihat apresiasi yang diberikan ke kampungnya, yang dinyatakan sebagai kampung bebas sampah, warga yang semula ogah-ogahan menanam tanaman mulai tumbuh kesadaran. "Sejak itu, kampung ini makin hari makin baik," kata Fauzan.
Tak hanya sampai di situ, Fauzan bersama warga lain membuat terobosan membantu penghematan pengeluaran air warga. Ia membuat proses penjernihan air limbah rumah tangga. Air limbah diproses secara sederhana kemudian dijernihkan, lalu dialirkan ke rumah warga dengan pipa khusus. Air ini biasa digunakan untuk menyiram tanaman dan mencuci sepeda motor. "Sekarang, masing-masing warga bisa menghemat air sekitar 5-6 kubik air per bulan," jelas Fauzan yang semua usahanya itu merupakan pendampingan dari Yayasan Uli Peduli dari Unilever.
Saat ini, puluhan RT dari 10 RW yang ada di kelurahan Gundih, meniru Fauzan dalam mengelola kebersihan kampungnya. Saat ini, dirinya diminta oleh Pemda Lamongan untuk menularkan ilmu yang dimiliki dan menjadikan Lamongan jadi kota yang bersih.
Uniknya lagi, setelah Gundih mendapat berbagai predikat juara lingkungan, warganya turut berubah perilaku. "Yang saya amati, begitu dapat penghargaan, preman-preman itu malu sendiri kalau masih melakukan kejahatan. Justru, saat ini mereka lah yang jadi pendekar lingkungan. Mereka akan berdiri paling depan kalau ada aksi gerakan kebersihan kampung," kata Fauzan bangga.
N GANDHI WASONO M.
FOTO-FOTO: GANDHI
Sumber: Nova 1208/XXIV, 18 - 24 April 2011
Komentar
Posting Komentar