Gerakan "Serba Kecil" Landa Amerika Serikat

Myrna Ratna

Sejak krisis finansial 2008, sebagian warga Amerika Serikat mengubah pola pikir dan gaya hidup mereka. Dari yang "serba besar" menjadi "serba kecil" dan membumi.

Hampir sebagian besar warga Amerika selama ini meyakini moto "semakin besar, semakin baik". Tatanan konsumerisme telah membius mereka menganut gaya hidup yang serba besar dan berlimpah.

Lihatlah porsi makanan di resto-resto cepat saji yang semakin lama semakin besar, pinggiran kota yang dipenuhi rumah-rumah megah dengan halaman luas, sampai pusat-pusat rekreasi dan mal yang dibangun di lahan ratusan hektar. Semua itu seakan lekat dengan simbol kemakmuran AS.

Kini, fenomena itu perlahan berubah. Puluhan ribu keluarga di berbagai negara bagian di AS melakukan "revolusi mental" dengan meyakini bahwa less is more, semakin kecil semakin bermakna. Mereka beramai-ramai meninggalkan rumah superbesarnya dan memburu rumah mungil dengan ukuran kurang dari 40 meter persegi. Mereka juga mulai meninggalkan kebiasaan mengoleksi baju, tas, sepatu, mobil, dan berganti dengan semangat yang lebih fungsional dan membumi.

Gerakan itu sebetulnya sudah dimulai beberapa dekade lalu, pada saat ajakan kembali ke alam menjadi tren di kalangan para avonturir. Penulis asal Jepang Marie Kondo ikut mendorong gerakan itu menjadi perhatian dunia. Bukunya yang mengajarkan bagaimana melepaskan kelekatan terhadap barang-barang pribadi menjadi panutan jutaan orang di dunia.

Namun, badai krisis finansial global 2008-lah yang menjadi pemicu berubahnya cara berpikir sebagian warga AS. Krisis ekonomi 2008 merupakan krisis terburuk dalam sejarah AS pasca-periode Depresi Hebat tahun 1930-an.

Krisis perumahan

Berawal dari skandal subprime mortgage yang dalam waktu cepat bergulir tak terbendung sehingga menjadi krisis finansial di AS dan meluas menjadi resesi ekonomi global. Di AS saja ada sekitar 8 juta orang kehilangan pekerjaan, 2,5 juta bisnis yang hancur, dan sekitar 4 juta rumah disita dalam waktu kurang dari dua tahun (www.rocagallery.com, 17/9/2018).

"Amerika mengalami krisis perumahan. Banyak sekali rumah kosong yang hancur di sekitar kita," kata Brandy Jones kepada AFP. Ia bersama suami dan dua anaknya memilih hidup baru dengan rumah mungil.

"Mimpi Amerika" model baru itu kini menjadi gerakan yang diperkirakan memengaruhi kebijakan pengembangan komunitas yang lebih luas di masa depan. Tren gaya hidup telah didefinisikan kembali, yaitu bagaimana mencapai hidup yang lebih bermakna di mana pengalaman dan relasi antar-individu lebih penting dibandingkan sekadar materi.

Tren minimalis ini sangat mengena pada kelompok milenial (18-34 tahun) yang jumlahnya mencapai seperempat total populasi di AS, dan menjadi kelompok terbesar dalam angkatan kerja negeri itu.

Dalam tulisannya di majalah Forbes, Deborah Weinswig menyebutkan, kelompok milenial dibesarkan di era resesi dan harus berjuang untuk merebut peluang kerja. Generasi yang sangat cekatan dalam memanfaatkan teknologi dan media sosial itu juga memiliki tanggung jawab untuk membayar biaya pendidikan mereka.

Terkait hal itu, sejalan dengan hasil survei dari Harris Poll, 78 persen warga milenial lebih memilih untuk mengeluarkan uang untuk memperoleh pengalaman dibandingkan membeli barang.

Mereka juga lebih memilih produk-produk yang dipasarkan dengan pertimbangan etis, dibuat dari bahan yang berkelanjutan (sustainable) dan ramah lingkungan. Alhasil, mereka tak terlalu gemar belanja sehingga kelompok ini dikategorikan sebagai "ancaman" terhadap industri ritel.

Mungil

Biro Sensus AS menyebutkan, saat ini luas rata-rata rumah baru yang dibangun di AS sekitar 240 meter persegi dengan minimal harga sekitar 300.000 dollar AS. Konsekuensinya, hampir separuh penghasilan setiap warga AS disisihkan untuk mencicil rumah. Artinya, perlu waktu sedikitnya 15 tahun masa kerja untuk melunasi utang rumah. Dengan budaya "beli sekarang bayar nanti" itu, hampir 76 persen warga AS hidup dalam siklus "dari cicilan ke cicilan".

Harga itu bisa dibandingkan dengan rumah mungil yang harganya 10.000-50.000 dollar AS. Mahal atau tidaknya rumah mungil (bisa stasioner atau bisa juga berpindah dengan ditarik mobil) sangat bergantung pada seberapa "mewah" perlengkapan di dalam rumah. Harga juga tergantung dari apakah rumah itu dibeli dalam bentuk jadi atau dibuat sendiri.

Selain masalah harga, masalah ramah lingkungan juga menjadi alasan penting. Rumah mungil akan mengurangi jejak karbon (carbon footprints) secara drastis karena bukan saja penggunaan listrik akan berkurang secara signifikan, melainkan penggunaan material bangunan juga menjadi minim.


Dalam setahun rata-rata rumah ukuran biasa mengeluarkan 28.000 pon CO2, sedangkan rumah mungil yang luasnya kurang dari 40 meter persegi hanya 2.000 pon CO2 (www.renewableenergyworld.com). Pembangunan rumah ukuran biasa rata-rata membutuhkan sekitar tujuh truk balok kayu, sementara rumah mungil hanya butuh setengah truk, bahkan bisa dibangun dengan material bekas.

Scott Berrier beserta istrinya, Melissa, yang meninggalkan rumah besarnya dan kini menghuni rumah seluas 34 meter persegi mengatakan, dirinya bahagia karena tidak harus lagi memiliki banyak barang seperti sebelumnya.

"Kami sangat cocok dengan pendekatan minimalis, yang tak lagi membutuhkan banyak hal dan tak ada lagi barang-barang berserakan. Kami betul-betul menyederhanakan kehidupan dan terbebas dari aneka sampah," kata Berrier seperti dikutip AFP.

Namun, kendala masih tetap ada. Sebagian besar kota di AS melarang warganya hidup "di atas roda" sepanjang tahun. Sejumlah aturan negara bagian juga menetapkan bahwa sebuah rumah minimal harus berukuran 84 meter persegi. Toh sejumlah negara bagian di AS sudah lebih progresif dan mengubah aturannya, seperti di Nevada, Colorado, dan North Carolina.

Dengan jumlah penduduk dunia yang akan mencapai 8,5 miliar jiwa pada tahun 2030 serta semakin terbatasnya lahan dan sumber daya alam, gerakan minimalis menjadi salah satu solusi yang bertanggung jawab.



Sumber: Kompas, 29 Juni 2019

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...