PEMINDAHAN WARGA: Melawan Redupnya Ekonomi di Rusunawa
Suasana salah satu sudut kawasan Kalijodo di Jakarta Utara itu lengang, Kamis (25/2). Hanya terlihat beberapa orang yang mendorong gerobak, memindahkan barang-barang dari tempat tinggal lamanya. Hari Senin, pemerintah membongkar semua bangunan di wilayah ini.
"Saya tidak mau pindah. Sudah jauh, di sana (rumah susun sederhana sewa/rusunawa) enggak tau mau ngapain. Di sana mana bisa dagang, pasti yang dagang sudah banyak," ucap Yuliati, warga Kalijodo.
Sebelum Kalijodo menjadi sasaran penertiban pemerintah, Yuliati yang berdagang beragam barang di toko kelontongnya ini berpenghasilan lumayan setiap hari. Untuk penjualan rokok, air minum, dan lainnya, dia bisa memperoleh Rp 500.000.
Pedagang lain, Lastri (32), menyampaikan hal yang sama. Apabila ramai, bisa mencapai Rp 700.000. Pendapatan lebih terutama diperoleh saat akhir pekan. Lastri juga tak mau pindah ke rusunawa yang disediakan pemerintah. Dia memilih mengontrak di Kapuk, Jakarta Barat, dan sedang mencari lokasi berdagang baru.
Berkebun di rusun
Tak seperti kekhawatiran Yuliati dan Lastri, bidang usaha di rusun tak melulu hanya berdagang. Seperti terlihat di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara.
Warga penghuni rusunawa ini juga pindahan dari beberapa wilayah lain yang jadi sasaran penertiban pemerintah. Mereka tak ingin kehidupannya tercerabut dan memilih bercocok tanam untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan lahan sempit di samping rusun.
Selasa (23/2), deretan sayuran berwarna hijau sejuk membasuh mata. Sawi, selada, pakcoy, dan kol berbaris rapi di atas pipa paralon. Suara gunting yang beradu dengan batang tanaman sawi terdengar nyaring di telinga. Dengan telaten, Agus Harianto (61) menaruh batang-batang sawi yang sebagian telah layu itu di wadah plastik. Puluhan batang terkumpul, lalu dibuang ke tempat sampah.
"Kalau dibiarin, yang layu ini tetap menyerap air dan nutrisi. Jadi, yang lain terganggu," ucap mantan karyawan swasta ini, menirukan pelajaran yang diterimanya dari pembimbing.
Ribuan tanaman pot itu dijaga dan dikembangkan oleh Agus dan 10 anggota Kelompok Tani Marunda Green House, yang telah berdiri sejak tiga tahun lalu. Pada Kamis, mereka panen sekitar 200 kilogram (kg) sayur. Sepekan sebelumnya, kelompok ini juga panen sawi manis dan sawi mecin 157 kg dan selada 6 kg. Sayur-mayur itu dijual dengan harga Rp 10.000-Rp 15.000 per kg. Hasil penjualan digunakan untuk dana kelompok dan dibagikan kepada anggota.
"Kami kerja sama dengan Dinas UMKM untuk pengadaan bibit hingga pembelian," ujar Agus.
Inisiatif dan kemauan
Hariadi (58), anggota kelompok lain, menghabiskan segelas air putih dengan cepat. Dia baru saja mencangkul di lahan yang terletak di sebelah rumah kaca. Lahan tersebut ditanami cabai, terong, mangga, dan durian.
Adi, begitu nama panggilannya, baru enam bulan pindah ke Marunda. Dulu, ayah tiga anak ini menetap di hunian liar di Muara Karang. Sebelum rumah lamanya dibongkar, dia mengajukan permohonan tinggal di rusun hingga akhirnya disetujui.
"Saya enggak nyangka bakal berkebun di rusun, sampai dipanggil ikut kelompok tani. Saya sebelumnya menanami lahan kosong dekat blok saya," ucapnya.
Sekretaris Kelompok Tani Marunda Sudino (51) menyampaikan, meski baru kembali aktif, kelompok tani ini ternyata bisa menghasilkan tanaman yang cukup banyak. Jika dikelola lebih baik lagi, tentu akan terus berkembang dan menyejahterakan anggotanya.
Menurut Sudino, kelompoknya juga akan mengembangkan kolam ikan di rusun. "Selama ada lokasi, ada kemauan, juga ada inisiatif, banyak yang bisa dikerjakan di rusun dan semuanya pasti baik. Pendampingan pemerintah perlu menyeluruh ke masyarakat," tuturnya.
Sumber: Kompas, 1 Maret 2016
"Saya tidak mau pindah. Sudah jauh, di sana (rumah susun sederhana sewa/rusunawa) enggak tau mau ngapain. Di sana mana bisa dagang, pasti yang dagang sudah banyak," ucap Yuliati, warga Kalijodo.
Sebelum Kalijodo menjadi sasaran penertiban pemerintah, Yuliati yang berdagang beragam barang di toko kelontongnya ini berpenghasilan lumayan setiap hari. Untuk penjualan rokok, air minum, dan lainnya, dia bisa memperoleh Rp 500.000.
Pedagang lain, Lastri (32), menyampaikan hal yang sama. Apabila ramai, bisa mencapai Rp 700.000. Pendapatan lebih terutama diperoleh saat akhir pekan. Lastri juga tak mau pindah ke rusunawa yang disediakan pemerintah. Dia memilih mengontrak di Kapuk, Jakarta Barat, dan sedang mencari lokasi berdagang baru.
Berkebun di rusun
Tak seperti kekhawatiran Yuliati dan Lastri, bidang usaha di rusun tak melulu hanya berdagang. Seperti terlihat di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara.
Warga penghuni rusunawa ini juga pindahan dari beberapa wilayah lain yang jadi sasaran penertiban pemerintah. Mereka tak ingin kehidupannya tercerabut dan memilih bercocok tanam untuk bertahan hidup. Mereka memanfaatkan lahan sempit di samping rusun.
Selasa (23/2), deretan sayuran berwarna hijau sejuk membasuh mata. Sawi, selada, pakcoy, dan kol berbaris rapi di atas pipa paralon. Suara gunting yang beradu dengan batang tanaman sawi terdengar nyaring di telinga. Dengan telaten, Agus Harianto (61) menaruh batang-batang sawi yang sebagian telah layu itu di wadah plastik. Puluhan batang terkumpul, lalu dibuang ke tempat sampah.
"Kalau dibiarin, yang layu ini tetap menyerap air dan nutrisi. Jadi, yang lain terganggu," ucap mantan karyawan swasta ini, menirukan pelajaran yang diterimanya dari pembimbing.
Ribuan tanaman pot itu dijaga dan dikembangkan oleh Agus dan 10 anggota Kelompok Tani Marunda Green House, yang telah berdiri sejak tiga tahun lalu. Pada Kamis, mereka panen sekitar 200 kilogram (kg) sayur. Sepekan sebelumnya, kelompok ini juga panen sawi manis dan sawi mecin 157 kg dan selada 6 kg. Sayur-mayur itu dijual dengan harga Rp 10.000-Rp 15.000 per kg. Hasil penjualan digunakan untuk dana kelompok dan dibagikan kepada anggota.
"Kami kerja sama dengan Dinas UMKM untuk pengadaan bibit hingga pembelian," ujar Agus.
Inisiatif dan kemauan
Hariadi (58), anggota kelompok lain, menghabiskan segelas air putih dengan cepat. Dia baru saja mencangkul di lahan yang terletak di sebelah rumah kaca. Lahan tersebut ditanami cabai, terong, mangga, dan durian.
Adi, begitu nama panggilannya, baru enam bulan pindah ke Marunda. Dulu, ayah tiga anak ini menetap di hunian liar di Muara Karang. Sebelum rumah lamanya dibongkar, dia mengajukan permohonan tinggal di rusun hingga akhirnya disetujui.
"Saya enggak nyangka bakal berkebun di rusun, sampai dipanggil ikut kelompok tani. Saya sebelumnya menanami lahan kosong dekat blok saya," ucapnya.
Sekretaris Kelompok Tani Marunda Sudino (51) menyampaikan, meski baru kembali aktif, kelompok tani ini ternyata bisa menghasilkan tanaman yang cukup banyak. Jika dikelola lebih baik lagi, tentu akan terus berkembang dan menyejahterakan anggotanya.
Menurut Sudino, kelompoknya juga akan mengembangkan kolam ikan di rusun. "Selama ada lokasi, ada kemauan, juga ada inisiatif, banyak yang bisa dikerjakan di rusun dan semuanya pasti baik. Pendampingan pemerintah perlu menyeluruh ke masyarakat," tuturnya.
(SAIFUL RIJAL YUNUS)
Sumber: Kompas, 1 Maret 2016
Komentar
Posting Komentar