Harapan dari Sulam Perca
OLEH DAHLIA IRAWATI
Belajarlah meraih sesuatu yang besar dengan memulai mengerjakan hal-hal kecil. Prinsip itu diterapkan Yuli Masruroh (57), perajin-sulam-rajut kain perca asal Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dari lembar-lembar kain perca, Yuli merajut dan menyulamnya menjadi kerajinan tangan bernilai seni tinggi.
Kerajinan sulaman dan rajutan karya Yuli pernah dikenakan istri wali kota, bupati, dan juga dibeli Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karya itu juga dibeli konsumen mancanegara, antara lain dari Malaysia, Vietnam, Kanada, dan India. Selain membeli karya Yuli di sejumlah pameran di Jakarta, konsumen luar negeri juga membeli produk kerajinan tangan buatan ibu tiga anak tersebut saat dipamerkan di negara mereka. Bulan depan, Yuli dijadwalkan kembali berpameran di Romania.
Di sejumlah pameran, produk kerajinan karya Yuli yang paling laris diburu orang terutama adalah produk-produk seperti bros. Selain karena harganya relatif murah, produk seperti itu kerap dibeli sekaligus dalam jumlah banyak. Yuli membuat beragam produk kerajinan, antara lain jilbab sulam-rajut, baju, dompet, tempat tisu, sarung bantal, korsase, tas, sepatu, dan taplak meja.
Ia memasang merek Loys Collection di produk kerajinan karyanya tersebut. Produk kerajinan itu dijual mulai harga Rp 4.000 per buah, misalnya untuk bros, hingga Rp 1 juta per buah untuk produk seperti taplak meja berukuran besar.
Yuli tidak mengerjakan sendiri semua produk rajut dari dan sulam perca itu. Ia dibantu 28 perajin yang selama ini belajar setiap hari di rumahnya. Puluhan perajin tersebut memang mulai belajar teknik rajut dan sulam kain perca kepada Yuli. Jika ada pesanan, Yuli pun kerap menawarkan kepada mereka untuk ikut mengerjakan pesanan itu.
Biasanya perajin-perajin tersebut akan membawa pulang benang dan kain dari rumah Yuli. Lalu, mereka mengerjakan pesanan tersebut di rumah masing-masing. Yuli kemudian membayar mereka berdasarkan hitungan per ons benang yang dihabiskan serta tingkat kesulitan produk yang dibuat.
"Yang terpenting intinya adalah bekerja bersama-sama. Mereka belajar membuat produk di sini. Jika ingin mendapatkan uang, mereka boleh ikut mengerjakan pesanan yang saya terima," kata Yuli.
Bagi nenek lima cucu tersebut, tidak ada yang akan berkurang dengan berbagi. Itu sebabnya ia pun berbagi ilmu dan pekerjaan dengan orang-orang di sekitarnya. Ia meyakini, justru dengan berbagi, rezeki yang didapatkan bakal terus mengalir. Seperti gelas, jika airnya terus penuh, tidak akan bisa lagi diisi air. Sebaliknya, jika gelas dikurangi isinya, akan ada air yang bisa ditambahkan kembali ke dalam gelas itu.
Biasanya, Yuli memproduksi 90-200 pasang sepatu sulam setiap bulan. Rata-rata ia bisa menghasilkan omzet Rp 13 juta-Rp 50 juta sebulan dari sepatu sulam. Namun, penghasilan tambahan bisa didapat ketika ia mengikuti pameran. Pada Inacraft 2015 di Jakarta misalnya, hasil penjualan bros saja mencapai Rp 40 juta dalam lima hari.
Berjuang
Di balik kesuksesan usaha, sebenarnya Yuli berjuang keras untuk membuat produknya bisa laris manis seperti sekarang. Anak ke-2 dari 10 bersaudara ini awalnya membuka usaha sulam dan rajut pada tahun 2000.
Ketika itu, suami Yuli mengalami kecelakaan dan harus dirawat selama dua tahun sebelum akhirnya meninggal. Selama merawat suami yang sakit tersebut, Yuli membutuhkan uang tak sedikit karena dua hari sekali, sang suami memerlukan obat seharga Rp 700.000 sekali suntik. Yuli bercerita, karena segala sumber daya ia kerahkan untuk mengobati sang suami, pernah suatu ketika ia bahkan tidak mampu membeli sabun mandi.
Saat itu Yuli bekerja sebagai guru taman kanak-kanak, sekaligus membuka salon kecantikan di rumah. Demi mendapat tambahan uang, ia pun rajin merias keliling, mulai dari riasan untuk acara pernikahan, wisuda, hingga ke luar kota. Di sela-sela aktivitas yang padat, Yuli mengumpulkan kain perca dari kenalannya. Ia pun kemudian merajut dan menyulam kain-kain perca itu.
Yuli belajar merajut dan menyulam dari ibunya. Kerajinan tangan dari kain perca berupa boneka dan dompet pun dibuat Yuli, awalnya dengan meniru buatan ibundanya. Secara perlahan, karya Yuli berkembang menjadi kian beragam. Ia pun kemudian mengajarkan cara menyulam dan merajut kain perca tersebut kepada orang-orang lain di sekitarnya yang ingin belajar.
Itu dilakukan Yuli di sela-sela kegiatan mengajar membuat kue tar pernikahan yang sudah lebih dulu ia lakukan. Saking bersemangat mengajar rajut dan sulam, dalam sehari Yuli bahkan bisa naik-turun angkot hingga 14 kali untuk menjangkau lokasi mengajar.
Perempuan kelahiran Malang, 4 Februari 1960 tersebut semakin sering masuk ke pelosok kampung saat digandeng Dinas Koperasi Kabupaten Malang untuk mengajarkan ilmu rajut dan sulam keliling Kabupaten Malang. Sementara Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang mendorongnya menjadi ketua organisasi sulam dan bordir di Kabupaten Malang.
"Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa perjuangan. Itu sebabnya, kalau ingin berhasil, harus berjuang dulu. Jika ingin berhasil dalam sulam dan rajut, harus sabar dan telaten dengan benang-benang tipis atau potongan-potongan kain kecil yang sudah tidak terpakai. Semua bisa dimanfaatkan menjadi barang seni bernilai tinggi. Tidak ada orang bodoh, yang ada hanya orang malas. Semua bisa kalau mau berusaha," tutur Yuli.
Kini, setiap pagi rumah Yuli ramai menjadi pusat belajar rajut dan sulam. Oleh karena itu, tak cukup tempat di rumahnya untuk memajang semua produk buatannya. Produk-produk itu kini ditampung di tempat-tempat terpisah.
Yuli berharap suatu hari ia bisa memiliki galeri untuk menampung semua produknya di satu tempat. Harapan yang ia perjuangkan dengan kerja keras dan terus berbagi.
Sumber: Kompas, 7 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar