Hadi Muslih: Mendaur Ulang Ban Bekas Menjadi Mebel
Winarto Herusansono
Hadi Muslih (47) tidak pernah gelisah dengan produk mebel yang digelutinya sejak 1993. Tak ada yang berniat mencuri seperangkat kursi hitam, kokoh, dan antipecah ini meski mebel itu terpajang di halaman depan bengkelnya. Mebel-mebel kokoh itu ternyata terbuat dari sayatan ban truk trailer yang didaur ulang dan terlihat sangat cocok melengkapi taman atau ruang terbuka. Mebel dari ban bekas itu juga awet serta mampu bertahan 5 tahun hingga 7 tahun.
Muslih merupakan pemain tunggal dalam mengelola kerajinan ban bekas yang diberi label Tingkir Ban. Dia memanfaatkan limbah ban untuk pelestarian lingkungan.
"Kursi dan meja itu terbentuk seluruhnya dari jalinan ban bekas. Tidak ada penopang kayu atau besi sebagai alat penyangganya. Jadi, kursi dan meja buatan saya 100 persen menggunakan bahan ban truk besar. Untuk merekatkannya paling hanya dikuatkan dengan paku saja," tutur Muslih, pria asal Tegal yang lama tinggal di Salatiga, awal November 2018.
Muslih ditemui di bengkel produksi mebel ban bekasnya di Desa Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, yang dilengkapi toko ban baru selama setahun ini. Toko ban cukup laris mengingat lokasi bengkel berada di tepi jalan penghubung Terminal Tingkir dengan pintu Tol Salatiga-Bawen-Semarang.
Di bengkel sekaligus outlet mebel itu, stok mebel ban bekas Muslih masih sekitar 50 kursi serta puluhan meja. Beberapa meja divariasi dengan kaca bulat. Kursi-kursi yang tersedia bermacam-macam, mulai dari yang ukuran sedang, menengah, sampai kursi besar. Ada juga kursi polos tanpa sandaran, kursi sandaran, serta kursi sandaran dengan lengan di kiri dan kanan.
Satu setel mebelnya, terdiri atas empat kursi dan satu meja ukuran sedang, dibanderol dengan harga minimal Rp 800.000. Adapun satu kursi saja dihargai Rp 150.000. Banyak peminat yang hanya membeli dua kursi plus satu meja yang bisa ditaruh di teras rumah atau di taman.
Selain mebel, Muslih juga memproduksi tempat sampah, pot bunga, serta tali spiral untuk bahan pembuatan mebel. Tempat sampah sempat laris, seiring banyak pemerintah kota mempercantik taman-taman kota atau ruang terbuka hijau untuk wisata. Adapun produk tali spiral untuk mebel banyak diminati pembeli dari pusat kerajinan mebel di Pasuruan dan Ponorogo, Jawa Timur.
Saat itu, datang pasangan muda dari Suruh, Salatiga, berminat membeli mebel ban bekas. Pelanggan ini butuh satu set kursi, yang dilengkapi meja berlapis kaca dan dua kursi tunggal. Muslih dengan sabar melayani. Bahkan, untuk meyakinkan pembeli, dia beberapa kali membanting kursi karet buatannya ke lantai. Tentu saja kursi itu mental dan tidak rusak.
"Kursi saya tahan sampai 10 tahun, tidak rusak ataupun tak berubah warna. Kalau kurang dari 5 tahun rusak, silakan dibawa ke sini untuk saya tukar," ujar Muslih.
Dalam melayani pembeli, menurut Muslih, kuncinya harus sabar. Sabar dalam menjelaskan produk sekaligus sabar menghadapi konsumen yang sudah memilih, tetapi batal membeli. Peminat kursi karetnya ini memang pelanggan spesial. Banyak di antara mereka bahkan berani memasang satu set kursi karet ini untuk dipajang di ruang tamu rumah. Kursi-kursi buatannya itu sengaja tidak diberi bantalan sebab kursi dari karet itu sendiri sudah empuk. Kursi dengan sandaran serta kaki-kaki dari sayatan karet ban bekas dijamin tetap kokoh meski orang yang duduk berbobot lebih dari 90 kilogram.
Butuh keterampilan
Muslih mengatakan, dirinya merupakan perajin kursi karet ban bekas yang masih bertahan di Kota Salatiga. Usaha ini pernah mengalami pasang surut, bahkan sempat vakum 5 bulan gara-gara harga ban bekas sebagai bahan baku kerajinan sempat naik tinggi. Saat itu, harga ban bekas melonjak Rp 50.000 per buah.
Pada awal Muslih merintis usaha, 1993, hingga 10 tahun kemudian, harga ban bekas masih di kisaran Rp 2.000-Rp 3.000 per buah. Ban yang dicari mulai dari ban mobil niaga sampai ban truk trailer. Dulu, dia harus keliling ke garasi-garasi mobil untuk mendapatkan ban bekas.
"Setelah sepuluh tahun, saya sudah punya langganan. Untuk ban-ban besar, seperti ban trailer, saya ambil dari kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, sedangkan untuk ban bus, saya ambil dari garasi bus-bus yang punya agen di Salatiga, Boyolali, dan sekitarnya. Harga ban saat ini kisaran Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per biji," ujar Muslih.
Muslih mengakui, ketika harga ban bekas naik Rp 50.000 per buah, terus terang dirinya menahan diri tidak membeli. Untuk keperluan produksi kerajinan, dia masih memanfaatkan sisa stok yang ada.
"Dengan suntikan dana usaha dari Bank Jateng setahun silam, saya mulai memperbarui mesin dan membuka toko ban, khusus untuk kendaraan niaga. Adanya ruas Tol Bawen-Salatiga hingga Solo ternyata mendongkrak usaha saya," tutur Muslih.
Muslih mengatakan, untuk membuat mebel dari karet ban bekas dibutuhkan keterampilan khusus. Bahan ban juga tidak mudah dibentuk, mengingat ban atau roda itu bentuknya bulat. Butuh pekerja yang terampil dalam menggunakan pisau untuk menoreh lapisan ban karet sesuai desain. Pisau baja pun lebih cepat habis karena menguliti ban karet membutuhkan ketajaman ekstra sehingga pisau harus sering diasah.
Dengan mebel yang awet itu, risikonya dalam jangka pendek pembeli tidak datang lagi untuk ganti kursi buatannya. Sepuluh tahun silam, dalam sebulan, dia bisa menjual 10-20 set kursi dan meja. Kini, permintaan terhadap kursi karet ban mengalami penurunan. Dalam sebulan, Muslih rata-rata bisa menjual 10 set. Adapun kebutuhan bahan baku, rata-rata sebulan, ban roda trailer 100 buah dan ban mobil nontruk bisa 200 buah.
Untuk menjual produknya, Muslih lebih mengandalkan pemasaran konvensional, yakni melalui promosi dari pelanggan ke pelanggan. Kalau ada permintaan kursi dari luar kota, biasanya dia menyerahkan proses pengirimannya kepada pekerjanya.
Ketika permintaan tinggi, Muslih mempekerjakan sekitar 20 orang. Namun, saat sepi, hanya 3-4 pekerja yang ikut proses produksi di bengkelnya. Meski mengaku belum pernah ikut pameran, usaha Muslih telah memikat Bank Jateng sehingga memberikan kepercayan kepadanya dalam bentuk pemberian modal usaha.
Dengan pengalamannya sebagai pembuat kursi dari ban bekas, Muslih kerap diminta menjadi tutor untuk melatih perajin baru yang tertarik dalam usaha pembuatan kreasi dari ban bekas. Dia pernah diminta melatih perajin mebel ban bekas di Aceh pada 2005, tetapi tidak bisa dipenuhi karena tidak bisa meninggalkan kegiatannya di bengkel.
Hadi Muslih
Lahir: Tegal, 9 Januari 1971
Pendidikan: SMP Ponorogo, Jatim (1984)
Istri: Susilowati
Anak: Aditya Nur Wahid (21), Moh Salatsa Handoko (13)
Pekerjaan: Perajin mebel dari bahan ban truk bekas, pengusaha angkutan pedesaan
Sumber: Kompas, 16 November 2018
Komentar
Posting Komentar