PERTANIAN: Rimbun Sayur yang Mengubah Citra Kampung

Oleh IRMA TAMBUNAN

Ratusan batang sawi sendok atau pakcoi di pekarangan rumah Kaltum (47) belum memasuki masa panen. Namun, semua sudah habis dipesan. Dalam pekan ini saja, dua kali pedagang sayur menyambanginya.

"Ternyata laris. Banyak yang sudah antre memesan hingga panen berikutnya," ujar Kaltum, Selasa (30/5).

Hamparan sayur dalam pot-pot kecil dari gelas minuman bekas itu memang tampak menggoda. Daunnya lebar dan hijau segar. Dengan metode hidroponik, tanaman tidak hanya tumbuh sehat, tetapi juga lebih cepat. Dalam 25 hingga 30 hari, pakcoi sudah bisa dipanen. Sementara dengan penanaman konvensional di atas tanah dibutukan waktu 35 hari.

Nilai jualnya pun lebih tinggi. Pasar swalayan di Kota Jambi menjual pakcoi biasa seharga Rp 30.000 per kilogram, sedangkan pakcoi hidroponik Rp 40.000 per kilogram. Sayuran di pekarangan Kaltum laris dipesan untuk memasok sejumlah pasar swalayan besar.

Hidroponik populer belakangan di tengah kondisi kian menyusutnya lahan pertanian. Selain Kaltum, ada sekitar 30 keluarga di Kampung Penyengat Rendah, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, yang menjalankan pertanian itu. Memang belum semuanya menanam dalam skala besar. Sebagian petani masih coba-coba dan belajar.

"Hasilnya lumayan, bisa dimanfaatkan untuk konsumsi di rumah. Tidak perlu lagi belanja sayur ke warung," ujar Ainun (41), warga RT 012, yang baru dua bulan terakhir membudidayakan sayur.

Pelopor pertanian

Metode hidroponik dianggap ramah karena dapat dikembangkan tanpa media tanah. Dengan kata lain, petani tak repot mencangkul. Cara menanam, benih cukup disematkan pada wadah berisi air yang telah diberi nutrisi. Petani tak lagi boros biaya untuk membeli pupuk kimia. Dengan takaran nutrisi tepat, tanaman tumbuh subur.

Tren bertani hidroponik di kampung itu tidak meluas begitu saja. Adalah Syafii (37), pemuda setempat, yang merintisnya dua tahun silam. Ia pun memulainya bukan karena kebetulan. Lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, itu semula menjalankan usaha kerajinan pangan olahan. Beberapa kali usahanya terbentur pada keterbatasan pasar.

Dalam kondisi hampir kehabisan modal, Syafii akhirnya bertekad memulai usaha baru. Setelah mempelajari berbagai sumber di internet, ia memantapkan diri pada tanaman hidroponik. Alasannya, semua peralatan dan bahan dapat memanfaatkan barang bekas dan sumber daya di sekitarnya. Untuk pot, misalnya, ia memanfaatkan gelas bekas air mineral. Sebagai media tanam, ia memanfaatkan sabut kelapa. "Semuanya saya mulai dengan nyaris tanpa modal uang," katanya.


Melihat hasil sayur di pekarangan Syafii, banyak warga tertarik ikut menanam. Wajah kampung itu pun mulai berubah menjadi kebun sayuran di tengah padatnya pemukiman tua Melayu di pinggir Sungai Batanghari. Hijau tanaman menghiasi pekarangan warga. Udara terasa segar. Pemandangan pun indah dipandang.

Namun, yang paling penting, pekarangan menjadi sumber perekonomian masyarakat. Kawasan itu kini dikenal sebagai pemasok sayur bagi Kota Jambi. Produksi sayuran hidroponik di Penyengat Rendah mencapai 500 kilogram per bulan. Produksinya masih terus bertambah seiring dengan meningkatnya antusiasme warga.

Dalam skala kecil, tanaman hidroponik relatif aman dari serangan hama. Jika dikembangkan dalam skala besar, hamparan itu memerlukan perlindungan rumah kaca (green house) untuk menjaga tanaman dari serangan hama dan kerusakan akibat cuaca panas ataupun hujan.

Melihat besarnya potensi ekonomi melalui pertanian hidroponik di Penyengat Rendah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jambi memberikan bantuan rumah kaca serta memberdayakan kelompok perempuan melalui pemanfaatan pekarangan untuk penanaman sayur, tanaman obat keluarga, dan tanaman buah-buahan dengan metode hidroponik. Rumah kaca dilengkapi dengan instalasi media tanam hidroponik dan selanjutnya dikelola warga.

Pertanian dalam rumah kaca telah memproduksi 75 kilogram sayuran per bulan. Omzet penjualan mencapai Rp 2 juta per bulan dari biaya produksi hanya sebesar Rp 500.000. Dengan demikian, ada pendapatan Rp 1,5 juta per bulan dari pengembangan di tiap rumah kaca.

Kampung percontohan

Pertanian itu, kata Syafii, berangsur mengubah citra kampung. Kampung yang sebelumnya identik dengan penganggur kini menjadi kampung percontohan. Hidroponik membawa Penyengat Rendah menyabet juara Lomba Halaman Asri Teratur Indah dan Nyaman (Hatinya) PKK tingkat Kota Jambi pada 2015. Pada 2016, kampung itu kembali menjadi pemenang pertama untuk lomba serupa di tingkat Provinsi Jambi dan bahkan tingkat nasional.

Sukses di Penyengat Rendah mendorong perluasan hidroponik hingga ke Kelurahan Lingkar Selatan dan Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Jambi Selatan. Rintisan itu juga mengundang perhatian dan masuknya bantuan sosial dari berbagai kalangan. Pemerintah Kota Jambi melalui Wali Kota Syarif Fasha mendukung pelatihan dan bantuan rumah kaca. Ada pula bantuan rumah kaca dari Rumah Sakit Arafah.

Lurah Penyengat Rendah Nurbasnelly mengatakan, produksi sayur lokal diharapkan terus meningkat agar mampu memenuhi seluruh kebutuhan sayur di Jambi. Dengan demikian, kebutuhan sayur di pasar tidak lagi mengandalkan pasokan dari provinsi tetangga.

Yang menjadi tantangan saat ini adalah menjamin keberlangsungan produksi. Penanamannya masih perlu diatur agar tidak panen berbarengan, tetapi bergantian, agar produksi tidak terlalu melimpah dan harga jualnya stabil. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat pun semakin membaik.



Sumber: Kompas, 7 Juli 2017

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...