Soekarno & Mandela Melepas Perjalanan

Pengantar:


Wartawan HU "Pikiran Rakyat" Yusuf Wijanarko melakukan perjalanan solo bertajuk Mapay Jabar. Berbeda dengan perjalanan biasa, petualangan kali ini dilakukan dengan mengelilingi Jawa Barat sembari memanfaatkan tumpangan gratis dari masyarakat. Perjalanan ditekankan pada prosesnya seraya memotret kehidupan masyarakat yang ditemui dengan sudut pandang sedekat mungkin.

SERUPA penyesalan, arti sebuah perbuatan juga baru didapati pada akhir. Entah apa tujuan perjalanan ini tapi setidaknya ada dua hal mendasar yang ingin dijawab.

Pertama, benarkah kegiatan berwisata menikmati keindahan surgawi alam Indonesia--atau setidaknya Jawa Barat--hanya milik masyarakat dengan strata ekonomi menengah ke atas?

Sebab, butuh pengorbanan waktu terutama biaya yang tak sedikit sehingga hanya mereka yang berpenghasilan besarlah yang dapat berlibur. Lain soal dengan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Bagi mereka, berlibur dan bepergian masih tergolong sesuatu yang teramat mewah.

Kedua, sudah sangat sering tersiar kabar tentang keramahan orang Indonesia. Namun, keramahan itu seringnya kita dengar melalui perantara pelancong asing yang datang ke tanah air.

Bukan tidak mungkin, keramahan itu hanya cerminan inferiority complex masyarakat yang menganggap orang asing lebih terhormat dan memandikannya dengan segala sanjung-puja. Sungguh suatu warisan buruk feodal dari masa kolonialisme. Apakah keramahan orang Indonesia berlaku juga terhadap sesamanya dan bukan hanya terhadap orang asing?

Inti dari perjalanan Mapay Jabar adalah bepergian tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun untuk kebutuhan transportasi. Dengan kata lain, berburu tumpangan gratis adalah mutlak. Bukan meminta kemudahan dan layanan cuma-cuma dari penyedia jasa perjalanan tetapi dengan mengacungkan jempol di tepi jalan.

Cara ini dipilih karena sebelumnya sudah banyak cara dilakukan guna menekan biaya pengeluaran, mulai dari backpacking hingga hospitality traveling. Namun, banyak renik kehidupan yang kerap luput ketika perjalanan hanya menekankan pada ketibaan di tempat tujuan.

Bukankah Lao Tzu pernah berkata, "Perjalanan melancong yang baik tidak memiliki rencana pasti dan tidak bermaksud untuk sampai pada tujuan."

Bepergian dengan menumpang dapat memberikan pengalaman lebih kaya. Pencarian tumpangan gratis juga sangat menekankan pada proses alih-alih sekadar memprioritaskan keistimewaan tempat tujuan.

Ada enam destinasi yang rencananya akan dikunjungi yaitu penangkaran buaya di Blanakan Subang, Waduk Jatiluhur Purwakarta, Curug Citambur Cianjur, Pantai Tegalbuleud Sukabumi, Cukangtaneuh Ciamis, dan Talagabodas Garut. Namun, keenamnya hanya patokan awal. Segala sesuatunya tentu bisa berubah karena, seperti diutarakan sebelumnya, tak ada rencana yang pasti.


Di antara tempat-tempat itu, saya akan singgah pula di beberapa titik perhentian yang entah di mana guna menyerap, memahami, dan menceritakan kembali sebentuk kehidupan masyarakat lokal yang ditemui.

**

MENGAMBIL titik awal di Kota Bandung menuju ke utara, diputuskanlah untuk mencari tumpangan mobil pengantar sayuran. Dari tugu titik nol kilometer, Selasa (7/4/2015), saya berjalan kaki menuju Pasar Induk Caringin menyusuri jalan bersejarah yang dahulu bernama Jalan Raya Pos.

Ada sesuatu yang tampak lain di sepanjang ruas jalan yang kini bernama Jalan Asia-Afrika itu. Di sekitar Gedung Merdeka, kecuali bentuk-bentuk bangunan yang tetap mempertahankan keasliannya, segala yang saya lihat tampak seperti baru saja keluar dari toko material bangunan.

Ornamen lampu di sepanjang trotoar seolah ingin membuktikan bahwa Bandung hendak berupaya mengembalikan kenangan romantisme masa lalu saat benar-benar menyandang julukan Parijs van Java.

Poster Soekarno dan Nelson Mandela menyapa dengan senyumnya yang renyah sepanjang jalan. Semua tampak serbautuh dan terjaga. Beberapa hari lagi, jalan ini akan sedemikian istimewa. Para kepala negara dari benua Afrika dan Asia akan berkumpul di sini seperti yang juga dilakukan pendahulunya, 60 tahun silam.

Memasuki Jalan Jenderal Sudirman, pemandangan khas kota tua begitu kentara. Pilar-pilar gedung yang berjamur dan lapuk berbaris tepat di batas antara trotoar dan bahu jalan. Agaknya pada masa lampau para arsitek Belanda merancang bangunan-bangunan itu tanpa memperkirakan bahwa Bandung akan seramai sekarang. Namun, berjalan di antaranya sungguh terasa menenangkan.

Barisan fondasi tersebut menopang ruangan-ruangan yang sepertinya kini hanya berfungsi sebagai gudang. Di bawahnya, tak banyak orang berlalu-lalang. Sepertinya orang-orang sudah sangat alergi berjalan di trotoar.

Kick off laga Persib kontra Pelita Bandung Raya menyambut saya di televisi setibanya di Pasar Induk Caringin. Sore itu, mencari mobil pengangkut sayuran bukan hal sulit. Mendapatkan tumpangan, lain cerita. Sebab di bak belakang mobil, sayuran ditumpuk menggunung sedangkan di jok depan tak ada ruang tersisa karena dihuni sopir dan kernetnya.

Menjelang gelap, setelah berkeliling pasar mencari kendaraan, perjalanan pertama dengan menumpang pun dimulai. ***



Sumber: Pikiran Rakyat, 8 April 2015

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Postingan populer dari blog ini

HUTAN ADAT: Merawat Tembawang, Merawat Kehidupan

Masih Ada yang Tertinggal

MAKANAN BERLEBIH: Jangan Buang-buang Makananmu ....