Baju Ultah Happy dan Sayur Daur Ulang

HAPPY lagi sibuk mikirin baju buat ultah. Untungnya Happy termasuk anak orang berada, maksudnya berada di mana-mana (abis sering keluyuran sih! hehehe), so jadinya tu anak punya duit untuk beli baju ultah yang keren.

Happy yang punya body agak subur kayak tambur, udah dari kemaren kasak-kusuk ngomongin baju ultah.

Hari ini dia cerita lagi ke Uwi, padahal Uwi udah hampir sepuluh kali ngedengerin cerita soal niat Happy beli baju.

"Pada suatu hari, adalah seorang putri bernama Happy ...," Happy memulai ceritanya lagi.

"Lalu putri itu kena kutuk sehingga badannya jadi gendut kayak bola bekel!" sambung Uwi konyol.

Happy merengut.

"Iya, iya, sori deh. Lagian kamu mau cerita soal baju aja pake ngomong pada suatu hari segala," ujar Uwi. "Udah deh, cepetan!"

"Oke. Saya langsung aja. Setelah saya pikir-pikir, kayaknya saya mau beli baju ultah yang sensual!" kata Happy sambil mengembangkan senyumnya.

"Sensual?" Uwi bengong.

"Iya. Badan saya akan keliatan seksi kalau pakai baju yang sensual," kata Happy lagi sambil muter-muter kayak komidi puter. Maksudnya sih biar kayak peragawati. Kalo jadi peragawati, Happy pantesnya meragain baju musim ujan. Alias mamerin jas ujan dari plastik! Hihihi.

Uwi manggut-manggut aja ngedengerin omongan Happy. Padahal dalam hatinya nyela, "Uh, badan kayak kue tar aja belagu!"

"Saya mau pesen baju langsung ke desainer terkenal. Itu lho Rhoma Irama, tau kan?" kata Happy lagi.

"Eh, Rhoma Irama sih penyanyi dangdut!" ralat Uwi.

"Lho, sekarang udah jadi penyanyi, ya? Aduh, kalo gitu saya mesti nyari desainer lain deh!" tukas Happy tanpa dosa.

Rupanya Uwi sekarang udah nggak kuat lagi lama-lama ngedengerin omongan Happy, makanya Uwi mempercepat langkahnya meninggalkan Happy. Tapi Happy nggak peduli. Dia terus mengejar Uwi.

"Eh, Uwi, tunggu dulu dong. Kamu jangan pergi begitu aja. Cerita saya kan belon selesai. Kalo soal warnanya gimana? Cocok nggak kombinasi merah dan hitam? Tapi potongannya tetep sportif dan rada-rada feminin. Terus motifnya bunga-bunga kecil yang dicampur ama garis-garis lurus. Terus di dada dikasih hiasan pita."

"Pake pita kaset aja!" timpal Uwi yang udah sebel ngedengerin omongan Happy.

"Ah, masa sih pita kaset. Eh, terus bawahnya saya bikin agak melebar, dan kalo bisa dari satin silk atau wol? Eh, kayaknya kalau wol bagusan yang warna salem, atau warna mencolok sekalian ya? Eh Wi, kira-kira bagus nggak kalau saya kombinasi dengan blazer yang banyak kantongnya?"

"Ah, auk ah gelap! Saya mau pulang! Kalo boleh usul, kamu bagusan pake karung goni, tau!"

Dan Uwi akhirnya betul-betul tega meninggalkan Happy.

Sedang Happy yang lagi nafsu cerita jadi sedih.

"Oh, siapa lagi ya yang bersedia mendengarkan cerita saya?" katanya dalam hati.

Eh, untung aja tiba-tiba Lupus lewat.

"Oh, Lupus. Kebetulan sekali ada kamu. Saya mau ngobrol-ngobrol tentang baju ultah, Pus. Saya mau beli baju, tapi perlu pendapat dulu," ujar Happy.

"Kamu mau minta pendapat saya? Gampang. Kamu dateng ke pasar, terus beli seprei ...."

"Seprei untuk tempat tidur?" tanya Happy heran.

"Iya, terus kamu lilitin ke badan kamu. Pasti keren!"

"Yee, enak aja. Saya jadi kayak lemper dong!"

"Hehehe, tau aja kamu!" Eh, Hap, mendingan kalo ngomongin soal baju ama Lulu aja."

"Oh, iya ya, kenapa nggak kepikir dari kemaren-kemaren. Oke Pus, makasih atas sarannya."

Besoknya Happy langsung ngajak Lulu ke mal yang nggak jauh dari rumah.

"Kita surpei dulu Lu," jelas Happy. "Nanti setelah dapet model yang bagus, baru kita ke tukang jahit."

Selama di mal mereka mendatangi toko-toko keren. Happy kayak putri raja aja, ngelongok sana-ngelongok sini. Sedang Lulu kayak pengawalnya.

Ketika masuk ke sebuah toko, Lulu heran ngeliat harga baju yang mahal banget!

"Ya ampun, kaos beginian aja dua ratus ribu!" teriak Lulu.

"Hus, pengawal! Jangan bikin malu dong!" Happy langsung mencubit tangan Lulu.

"Abis, mahal amat. Di rumah gue yang beginian buat lap kompor," kata Lulu lagi.

"Udah ah. Ayo kita ke tempat desainernya!" kata Happy sembari menyeret Lulu keluar mal.

Tapi ketika mereka tiba di tempat si desainer, mereka kecewa. Karena desainer tersebut sibuk menyelesaikan pesanan baju-baju orang-orang terkenal. Dia tidak punya waktu untuk mengerjakan baju pesanan Happy. Padahal ultah Happy hampir tiba.

"Ke apotik aja, Dik," saran si desainer kemudian.

"Lho, kok ke apotik sih?" Happy bingung.

"Enggak. Soalnya apotik yang di sana itu kosong. Hehehe, sori ya, bercanda."

Happy makin ngerasa sebel. "Uh, orang lagi kesel dibecandain!"

Akhirnya Lulu dan Happy pulang ke rumah masing-masing tanpa hasil.



Di rumah, Lulu ngeliat Mami lagi bikin bantal sandaran kursi dari kain-kain bekas. 

"Eh, kain-kain ini dari mana, Mi?" tanya Lulu.

"Beli di konveksi dekat pasar," jawab Mami.

"Berapa harganya, Mi?"

"Walah, murah banget, Lu. Seribu perak seraup!"

"Masa sih?"

"Ya. Ini kan potongan-potongan kaen yang udah nggak kepake," jelas Mami.

"Wah, kalo gitu kebetulan. Gini, Mi," kata Lulu yang tiba-tiba punya ide dan membisikkan sesuatu ke telinga Mami. "Gimana, Mi?"

"Boleh-boleh aja," ujar Mami. "Lagian Mami punya banyak waktu luang kok. Dan mudah-mudahan besok juga udah jadi."

Besoknya Lulu langsung ke rumah Happy.

"Apaan nih?" tanya Happy ketika Lulu memberikan sebuah bungkusan.

"Buka aja!" kata Lulu.

Happy nggak sabar membuka bungkusan itu dan ternyata isinya adalah sehelai baju unik dari potongan-potongan kaen bekas bikinan Mami.

"Ouw, keren amat!" pekik Happy begitu ia membentangkan baju itu.

"Warnanya bervariasi sekali. Ouw, betul-betul unik. Saya belum pernah melihat baju seunik ini, Lu. Siapa yang bikin?"

"Mami yang bikin. Spesial buat kamu," kata Lulu lagi.

"Wah, wah, ukurannya cocok lagi. Berapa harganya, Lu?"

"Terserah kamu," jawab Lulu.

"Terserah saya?"

"Iya."

"Hm, gimana kalau saya beli tiga puluh ribu rupiah?"

"Boleh aja," jawab Lulu.

Tapi ketika Happy mengeluarkan tiga lembar puluhan ribu, Lulu menolaknya.

"Nggak usah, Hap. Ini untuk kamu kok. Nggak usah bayar!"

"Eh, yang bener nih? Wah, terima kasih banyak ya. Eh, kalo gitu bilang ke mami en papi kamu, supaya datang ke pesta ultah saya."

"Oke."

Malam harinya Lulu cerita ke Mami. 

Papi yang ngedenger cerita Lulu jadi sebel karena Lulu menolak uang tiga puluh ribu itu.

"Sekarang kan lagi zaman susah. Orang-orang lagi perlu duit. Harusnya ada rezeki kayak gitu diterima aja, Lu," ujar Papi.

"Abis, Happy orangnya baik, Pi," jawab Lulu. "Lagian kita semua diundang Happy ke pesta ultahnya kok."

"Ternyata barang bekas itu bisa tampil lebih keren daripada barang baru, ya. Daripada dibuang-buang, asal kita bisa mengolahnya pasti jadi barang bagus," ujar Mami.

"Ya, benar begitu," jelas Papi lagi. "Kita harus bisa memanfaatkan barang-barang bekas. Jangan main buang aja. Eh, Mi ngomong-ngomong masak apa untuk malam ini?"

"Ya, masih ada hubungannya dengan barang bekas," jawab Mami.

"Maksud Mami?" tanya Papi heran.

"Mami masak sayur sisa-sisa kemaren. Kemaren kan Mami bikin sayur daun singkong, terus nggak abis. Kemarennya lagi bikin pepes terong, belon abis juga. Ya udah, Mami olah lagi, tapi Mami kombinasiin ama menu masakan hari ini. Sayang kan sayur-sayur bekas itu disia-siakan begitu aja, apalagi saat krisis moneter kayak gini, Pi. Kita harus pinter-pinter memanfaatkan barang bekas dong," jawab Mami nyantai.

"Eh, tapi kalo soal sayur sih nggak bisa begitu, Mi. Pasti rasanya nggak karuaaaan!" teriak Papi protes.

"Iya Mi," ujar Lulu ikut-ikutan.

Tiba-tiba Lupus muncul dari dapur sambil memegangi perutnya yang kekenyangan. "Aduh, sori ya Lupus makan duluan. Soalnya Lupus mau belajar ke rumah Pepno. Wah Mi, enak deh sayur Mami kali ini. Rasanya lain dari yang lain."

Papi dan Lulu pun terbelalak.

"Apa Mami bilang? Enak kan?"



Cerita ini terdapat dalam Lupus Kecil: Terserang Si Ehem karangan Hilman dan Boim (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama, 1998)


sumber gambar: Gramedia

Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...